Langsung ke konten utama

Kenapa Malu dipanggil "Sutan"..?

Sutan..oh sutan..


Adalah suatu kelaziman di Nagari Kamang (tidak hanya di Nagari Kamang) saat ini, para lelaki yang sudah menikah tak suka jika mereka dipanggil dengan gelar sutan yang telah mereka sandang ketika dijemput ke rumah isteri mereka dahulu. Kebanyakan dari mereka lebih suka dipanggil dengan nama kecilnya ataupun dengan nama atau julukan dalam pergaulan mereka sehari-hari semasa berkawan-kawan di kampung. Jika ditanya mereka tak hendak memberi tahu “Panggil nama saja..” jawab mereka.

Mereka beralasan, bahwa terasa jauh hubungan jika dipanggil dengan nama gelar mereka. Mungkin beginilah dunia zaman sekarang, perasaan semacam itu lahir dan tumbuh sebagai akibat dari perkembangan zaman yang arahnya tak dapat kita terka.

Pada hal banyak orang-orang di luar Minangkabau berkeinginan menyandang gelar “sutan”. Terkadang mereka merasa bangga, “telah berasa menjadi orang Minangkabau pula” mungkin begitu kira-kira perasaan hati mereka.

Sebenarnya tak ada salahnya “Si Sutan” dipanggil dengan nama kecilnya, terutama oleh keluarga atau karib-kerabat. Begitu juga oleh kawan-kawan yang telah terbiasa memanggil dengan nama kecilnya. Namun yang sangat disayangkan ialah pabil ada orang bertanya perihal gelarnya, dia tak hendak menjawab. Inilah yang sebenarnya disayangkan. Orang bertanya kan hendak menghormati kita. Mungkin pada awalnya terasa berat dan ganjil rasanya jika diri kita dipanggil dengan gelar “sutan”. Namun lama-kalamaan Insya Allah akan terbiasa dan tak terasa aneh, janggal, dan berat lagi.

Bukankah di masyarakat kita yang biasanya memanggil kita dengan panggilan gelar “sutan” merupakan orang-orang yang tidak memiliki hubungan kerabat dengan kita. Semisal, orang kampung, orang yang baru kenal, disapa oleh yang lebih tua ataupun muda. Memang sudah begitu dari dulu, kalau tak salah. Hingga kini. Orang-orang yang lebih tuapun jika dia pulang ke rumah dunsanak, atapun bersua dengan kawan-kawan seprgaulan masih dipanggil dengan nama kecilnya. Dan itu tak menjadi masalah.

Sesungguhnya nama, bahasa, dan berbagai istilah-isitlilah yang kita miliki dalam kebudayaan kita merupakan identitas kita sebagai orang Minang. Janganlah hal tersebut dihilangkan. Justeru sebaliknya, hendaknya kita pertahankan jualah. Karena pabila kita sudah sama dengan orang lain (dengan kebudayaan lain) maka dengan begitu kita sudah kehilangan jati diri kita. Terbawa arus dalam pergaulan itu tidaklah baik.

Berpegang teguhlah kepada adat dan agama kita, karena sesungguhnya kedua perkara tersebutlah yang Insya Allah, yang akan menyelamatkan kita dalam kekacauan hidup ini. Janganlah hendaknya Minangkabau ini tinggal nama saja nantinya. Janganlah adat dan agama kita menjadi barang langka dikemudian hari kelak. Niscaya jika itu terjadi, alamat Alam Minangkabau akan runtuh, tali persaudaraan diantara kita akan menjadi pupus, alamat dunia akan menjadi rusuh.

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Katam Kaji

[caption id="attachment_779" align="alignright" width="300"] Salah satu gambar yang kami dapat dari kampung[/caption] Terdengar oleh kami telah tiba pula musim Katam Kaji [1] di kampung kita. Pada hari Ahad yang dahulu (22 Juni 2013) kami dengar kalau orang di Surau Tapi yang ba arak-arak. [2] Kemudian pada hari Kamis yang lalu (27 Juni 2013) tiba pula giliran orang Joho dan sekarang hari Ahad (30 Juni 2013) merupakan tipak [3] orang Koto Panjang yang berarak-arak. Memanglah pada pekan-pekan ini merupakan pekan libur sekolah bagi anak-anak sekolah. Telah menerima rapor mereka. Memanglah serupa itu dari dahulu bahwa Katam Kaji dilaksanakan oleh orang kampung kita disaat libur sekolah. Namun ada juga yang berlainan, seperti orang Dalam Koto yang akan melaksanakan selepas Hari rayo Gadang [4] dan Orang Taluak yang kabarnya akan mengadakan selepas Hari Raya Haji . [5] Kami tak pula begitu jelas pertimbangan dari kedua kampung tersebut. Mungkin engku dan

29. Tata Upacara Adat Minangkabau: Upacara Batagak Pangulu

UPACARA BATAGAK PANGULU Salah satu upacara atau alek ( ceremony ) adat Minangkabau yang paling sakral yang mendapatkan perhatian dan perlakukan khsus adalah Batagak Pangulu atau ada juga yang menyebutnya Batagak Gala .  Upacara ini merupakan peristiwa pentasbihan dan pengambilan atau pengucapan sumpah serta janji seorang Pangulu pada saat ia diangkat dan dinobatkan sebagai pemimpin kaum yang bergelar Datuak. Upacara adat ini sesuai dengan ajaran Islam sebagaimana firman Allah mengingatkan: Sesungguhnyan orang-orang yang menukar janji ( nya dengan Allah ) dan sumpah-sumpah mereka dengan harga yang sedikit maka mereka itu tidak mendapat bahagian dari ( pahala ) di akhirat, dan Allah tidak akan berkata-kata dengan mereka dan tidak akan melihat kepada mereka pada hari kahirat dan tidak ( pula ) akan menyucikan mereka. Bagi mereka adalah azab yang pedih (QS:3:77). Pada bagian lain Allah juga mengingatkan: “ Dan janganlah kamu mengikuti orang yang selalu bersumpah, lagi yang hina ” (QS 6

Luak Gadang & Luak Kaciak

Luak , begitu sebagian orang Minang menyebutnya. Atau orang sekarang lebih mengenalnya dengan sebutan sumua atau sumur. Luak adalah sumber untuk mengambil air bagi sekalian orang, sebelum dikenalnya sistim penyaluran air oleh PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) sekarang. Pada masa sekarang, hampir sekalian rumah di Kamang memiliki luak namun tidak demikian pada masa dahulu. Dahulu luak hanya dimiliki oleh sebagian keluarga dan itupun tidak berada di dekat rumah melainkan agak jauh dari rumah. sehingga menyebabkan untuk mengambil air orang-orang harus berjalan agak jauh. [caption id="attachment_749" align="alignleft" width="300"] Luak Gadang[/caption] Adalah Kampuang Lubuak sebuah kampung di Jorong Nan Tujuah di Kamang. Kampung ini memiliki luak kampung yang bernama Luak Gadang dan Luak Kaciak. Kedua luak ini memiliki kegunaan (fungsi) yang berbeda. Luak Gadang berguna untuk mencuci dan mandi sedangkan Luak Kaciak berguna untuk mengambil air minum