Perang Kamang
Sebuah kisah dari Negeri Pemberontak
Buminyo angek
Aianyo karuah
Ikannyo lia
(Luhak Agam)
Pada tanggal 1 Maret 1908, pemerintah Kolonial mengumumkan akan diberlakukan kebijakan penetapan pajak untuk rakyat di wilayah jajahan. Untuk itu para pejabat pemerintahan diharapkan segera melakukan penerangan (sosialisasi) kepada rakyat jajahan. Hal ini juga berlaku bagi pejabat pemerintahan di Governement Sumatera Westkust (Sumatera Barat). Maka dari itulah pejabat pemerintahan kolonial di Luhak Agam atau mereka menyebutnya Oud Agam yang berpusat di Fort de Kock (Bukittinggi) mengambil kebijakan untuk mengumpulkan para Kepala Laras. Gunanya ialah untuk menyampaikan kebijakan baru pemerintah tersebut.
Kontroleur Agam ketika itu ialah seorang Belanda yang bernama Westernek yang merupakan salah seorang tokoh utama dalam pemberontakan orang Kamang. Dialah yang memimpin penyerangan terhadap Nagari Kamang yang kabarnya akan melawan kepada pemerintah.
Westerneklah yang memimpin rapat dengan para Kepala Laras dari Luhak Agam. Mereka melakukan rapat di Fort de Kock. Para Kepala Laras itu ialah Tuanku Laras Kamang, Tuanku Laras Magek, Tuanku Laras Salo, Tuanku Laras Baso, Tuanku Laras Tilatang, Tuanku Laras Kapau, Tuanku Laras Candung, Tuanku Laras Sungai Puar, Tuanku Laras IV Angkek, Tuanku Laras Banuhampu dan Tuanku Laras Ampek Koto Tuo.
Beginilah kira-kira petikan pertemuan pada masa itu:
Berkatalah Westernek kepada para Kepala Laras dengan menggunakan Bahasa Melayu sejauh yang dapat dipelajarinya:
“Tuanku-tuanku Kepala Laras, Gubernemen (Pemerintah) Belanda tidak mau menyusahkan lagi anak nagari di sini. Tidak lagi disuruhnya menanam kopi dan menjualnya hanya kepada Gubernemen. Anak nagari boleh menanam kopi sesuka hatinya saja. Kini Gubernemen bikin peraturan baru, anak nagari harus membayar beberapa rupiah kepada Guberne menuntuk segala macam kekayaannya, itu namanya blasting (pajak)”
Para Kepala Laraspun terkejut mendengar perkataan dari Westenernek tersebut. Mereka merupakan para pemimpin yang telah memahami watak dan karakter dari masyarakat yang dipimpinnya. Lagipula, sejauh pemahaman mereka, kebijakan ini belum pernah diberlakukan di Alam Minangkabau. Tidak pernah penguasa sebelum Belanda menempuh kebijakan semacam ini. Maka perkataan dari Westenernek itu dijawab oleh Tuanku Laras Sungai Puar:
“Maaf Tuan. Maksud Tuan menyuruh anak nagari bayar blasting terlalu sulit. Anak nagari kami banyak yang tidak ada di kampung dan pergi merantau”
Jawaban dari Tuanku Laras Sungai Puar tersebut rupanya diamini oleh para Tuanku yang lain. Keadaan serupa namun tak sama rupanya juga didapati di nagari lain di Luhak Agam. Maka menyambunglah Tuanku Laras Kamang dari perkataan Tuanku Laras Sungai Puar tersebut:
“Benar Tuan, kami sangat sependapat dengan Tuanku Laras Sungai Puar. Angguak-anggak, geleng-amuah. Itulah diantaranya sifat anak nagari kami. Lebih suka dihukum dari pada disuruh jual hasil kopinya kepada Gubernemen Belanda, Itulah contoh diwaktu yang lalu”
Maka sibuklah Westernek menghadapi para Tuanku Laras yang keras kepala ini. Mereka berani berkata “tidak” kepada Belanda, suatu sikap yang jarang kita temui pada diri pemimpin kita dimasa sekarang. Dimana banyak anak nagari meangguk-angguk dihadapan pemimpin mereka yang sama-sama berkulit sawo matang. Itulah sikap orang dahulu yang patut kita teladani, namun sayang masa telah berlalu pewarisan budaya boleh dikata tak ada di Minangkabau. Orang Minangkabau sekarang telah ter-Jakarta-kan, mereka bukan lagi orang Minang.
Akhirnya pertemuan itu selesai juga. Westernek dibuat sakit kepala oleh para Tuanku Laras, disatu sisi dia memahami watak dan karakter dari Orang Melayu ini.[1] Namun disisi lain sebagai aparat pemerintahan dia mendapat kewajiban untuk menjalankan kebijakan yang sama sekali baru, tidak lazim dikalangan rakyat, dan yang utama ialah ditentang oleh rakyat yang berada dibawah kepemimpinannya.
Maka akhirnya Westernek menempuh cara baru yaitu dengan mendatangi nagari-nagari di Luhak Agam. Tujuannya ialah sebagai sosialisasi, agar antara fihak pemeritantah dapat bercakap lebih leluasa dan harapannya ialah supaya rakyat nagari dapat diyakinkan dengan kebijakan baru ini. Namun kenyataan tidaklah seindah harapan, hampir seluruh rakyat nagari yang didatangi oleh Westernek menolak penetapan pajak ini. Bukan main sekitnya kepala Westernek dibuatnya.
Tersebutlah kisah kedatangan Westernek ke Nagari Kamang, setelah sekalian rakyat nagari dikumpulkan maka berbicaralah Westernek. Dia berusaha menerangkan dengan baik dan sejelas-jelasnya perihal kebijakan baru dari pemerintah kolonial kepada rakyat. Namun apa hendak dikata, rakyat menolak kebijakan baru. Salah seorang pemimpin Nagari Kamang yakni Dt. Rajo Pangulu merasa geram dan akhirnya tak dapat menahan kesabarannya. Maka dijawabnyalah perkataan Westernek:
“Tuan Westernek yang kami hormati, penetapan blasting tidaklah mungkin. Maaf dipinta kepada tuan sebelumnya, keadaannya ialah kami telah Tuan tipu dengan disuruh menanam kopi pada masa sebelumnya. Kemudian kopi itu Tuan beli dengan harga murah kepada kami. Tuanlah yang sebenarnya harus membayar kepada kami. Tapi kenapa kini Tuan yang meminta uang kepada kami. Bukankah Tuan pandai membuat uang. Maaf sekali lagi Tuan, sesenpun tidak akan kami berikan, musuh tidak dicari, kalau datang tidak dielakkan. Asa hilang kedua terbilang”
Akhirnya Komendur Westenernek kembali ke Fort de Kock dengan tangan hampa “Sungguh keras kepala orang Melayu di Agam ini, apa gerangan akal yang dapat ditempuh?” begitu kira-kira suara hati Sang Komendur.
Tokoh-tokoh yang Berpengaruh
Ninik Mamak
Sepulangnya dari rapat di Fort de Kock, Tuanku Laras Kamang merasa dibebani dengan beban fikiran yang berat. Sungguh berat nian beban seorang pemimpin, kabar yang hendak disampaikan tentunya difikirkan terlebih dahulu. Jangan sampai memancing amarah dari rakyat yang dipimpinnya. Sungguh merupakan suatu perkara yang sulit, akhirnya beliau memutuskan untuk meminta pertimbangan dari saudara perempuannya sesampainya di rumah nanti.
Sudah merupakan kelaziman bagi masyarakat Minangkabau pada masa dahulu, bahwa rumah dunsanak merupakan rumah dimana kain buruk digantungkan. Pulang ke rumah isteri hanya pabila senja sudah merayap dan mereka akan kembali ke rumah dunsanak di kala bumi masih dibasahi oleh tetasan embun selepas Shalat Subuh. Rumah dunsanak atau kamanakan Datuak Palindih ialah di Jalan Basimpang yang pada saat sekarang ini berada dalam wilayah Jorong Pintu Koto. Kepada saudara perempuannya Dt. Palindih menceritakan jalannya rapat dengan Tuan Kemendur di Fort de Kock tadi. Kebetulan sekali kamanakan lelakinya yang bernama Abdul Wahid gelar Kari Mudo juga berada di rumah. Maka kepada mereka berdualah Datuak Palindih mencurahkah segala isi hatinya.
Kari Mudo yang juga dimintai pendapatnya memiliki pendapat yang sama dengan mamaknya. Begitu juga amainya (saudara perempuan Dt.palindih), sebagi seorang perempuan Minangkabau yang pada dasarnya kekuasaan tertinggi berada di pundaknya dia faham bahwa saudara lelakinya sedang meminta pertimbangan dirinya. Para perempuan di Minangkabau pada dasarnya ialah para konselor bagi saudara lelakinya. Berdasarkan masukan dan dorongan dari merekalah segala keputusan akhirnya diambil. Maka dalam pertemuan keluarga tersebut diputuskanlah untuk memufakatkan masalah ini ketengah balai dengan Basa Nan Barampek.[2]
Setelah bermufakat sekian lama, mengkaji baik buruknya perkara ini sepanjang syari'at dan adat (hukum) yang berlaku di Alam Minangkabau dan terlebih lagi di Nagari Kamang. Maka diputuskanlah untuk menolak keputusan penetapan Belasting ini. Dalam pandangan para pemuka nagari ketika itu, Pemerintah Kolonial Belanda telah bertindak melampaui batas. Bertahun-tahun dahulu mereka telah membuat suatu perjanjian dengan masyarakat di Alam Minangkabau. Perjanjian itu ialah Plakat Panjang, isinya salah satunya ialah tidak akan memungut cukai (pajak) dalam bentuk apapun kepada rakyat Minangkabau. Namun sekarang, sesuai dengan watak mereka sebagai orang kafir, orang-orang Belanda telah mengkhianati sendiri perjanjian yang mereka buat.
Guna menindak lanjuti keputusan ini maka digenapilah hasil mufakat para penghulu dengan mengangkat M.Saleh gelar Dt. Rajo Pangulu dari Suku Sikumbang sebagai pimpinan orang Kamang dalam menghadapi perlawanan yang kemungkinan akan terjadi nantinya.[3] Langkah ini diambil setelah melihat keadaan yang semakin jauh dari kebaikan. Sebab orang Belanda tetap bersikukuh dengan sikap mereka, maka tak ada jalan lain selain melakukan perlawanan.
Cadiak Pandai (Cerdik Pandai)
Abdul Wahid gelar Kari Mudo telah mendengar perihal penetapan belasting dari mamaknya sendiri Dt. Palindih. Pendiriannya pun sudah tetap yakni takkan membayar cukai apapun kepada Belanda. Setelah tersiar kabar dari balai perihal rapat yang dihadiri oleh Lareh Kamang Dt. Palindih di Fort de Kock. Maka ramailah rakyat yang menyatakan penolakannya.
Rupanya tak hanya Kari Mudo yang memiliki pendirian semacam itu, hampir semua orang di Nagari Kamang. Begitu jugalah kiranya dengan Haji Jamiak dan Labai Sampono yang merupakan guru mengaji dari Kari Mudo. Merekapun memiliki pendirian serupa dengan anak murid mereka ini, bersama-sama mereka menyebar luaskan pemikiran mereka.
Pada hari Jumat bulan Maret 1908 diadakanlah rapat di rumah Kari Mudo. Ikut hadir diantaranya Kepala Laras Kamang sendiri dan saudara-saudaranya Dt. Siri Marajo (Penghulu Kepala Tangah) dan Sutan Pamenan. Hasil rapat hari itu ialah kebulatan tekad untuk tidak membayar belasting. Beberapa hari kemudian Kari Mudo didatangi beberapa orang tokoh masyarakat di Nagari Kamang. Mereka itu ialah Dt. Rajo Pangulu, Haji Muhamad Saleh, Labai Sampono, Abdullah Pakih, Malin Manangah, Datuk Makhudun, Pakih Bulaan, Pakih Marandah, Palito Hakim, Malin Mancayo, Bagindo Marah, Labai Imam Putih, Haji Samad, Labai Saidi dan Sidik. Mereka menyampaikan kalau merekapun memiliki pendirian yang sama dengan Kari Mudo.
Keesokan harinya Kari Mudo bersama Dt. Rajo Pangulu, Haji Muhamad Saleh, Abu Malin Saidi dan Datuk Maruhun mengunjungi Kepala Laras dan Pangulu Kepala di Tangah.[4] Mereka menerangkan maksud mereka mengenai pajak pada kedua pejabat pemerintah ini.[5] Maksud ini telah terang bagi Penghulu Kepala yang ketika itu dijabat oleh Dt. Siri Marajo dan Kepala Laras yang dijabat oleh Dt. Palindih. Mereka tak berdaya apa-apa sebab sebenarnya merekapun menolak keputusan pemerintah. Resminya jawaban dari kedua pemimpin tersebut ialah menolak rencana tersebut. Begitulah yang tertulis, namun yang tersurat ialah kedua Engku ini berada bersama anak-kamanakan mereka.
Rapat dengan Westerneck di Rumah Tuanku Laras
Tanggal 20 April 1908, ditetapkan akan mengadakan rapat di rumah Kepala Laras Kamang. Yang akan memimpin rapat ialah kontrolir Out Agam sendiri yakni L.C. Westenenk. Tujuan dari rapat ini ialah membicarakan mengenai perkara belasting yang pada saat itu sedang hangat menjadi pembicaraan dikalangan rakyat Nagari Kamang.
Rupanya niat dari pemerintah tersebut tidak mendapat sambutan yang baik di kalangan rakyat. Kari Mudo dan kawan-kawan berencana hendak menggunakan kesempatan tersebut untuk menyuarakan suara hati mereka. Maka pada hari yang telah ditentukan, tatkala sekalian anak nagari telah berkumpul di rumah Tuanku Laras maka tampillah Kari Mudo bersuara “barang siapa yang membayar pajak kafir”.
Selain Kari Mudo, ikut juga beberapa penghulu tampil ke hadapan khalayak. Pendapat yang mereka sampaikan hampir serupa. Yakni menentang penetapan belasting.
Kepala Laras dan Penghulu Kepala mendengarkan pula pidato-pidato tampaberkata apa-apa. Yang terjadi pada tanggal 20 April itu tidak dilupakan oleh pemerintah setempat. Apalagi sikap Kepala Laras dan Penghulu Kepala di Kamang yang terkesan lunak kepada rakyat yang dipimpinnya. Oleh karena belum siap dan mempertimbangkan berbagai hal Belanda belum mengambil tindakan tegas terhadap Kamang. Dalam pada itu Kari Mudo merasa gerakannya diatas angin. Maka rapat-rapat umum dan pidato-pidato diadakan dibanyak tempat, semua untuk tujuan yang sama yakni, Jangan memberi keterangan pada para petugas, jangan membayar pajak.
Pada pertengahan Mei Kari Mudo bersama Haji Jamiak berangkat ke Payakumbuh. Disana menginap di rumah Dt. Mudo. Keesokan harinya mengunjungi Surau Angku Syekh dari Koto Baru. Lebih dari satu jam Kari Mudo dan Haji Jamiak berunding dengan Syekh tadi. Kemudian melalui Suayan[6], mereka kembali ke Kamang. Di Suayan Kari Mudo meminta Haji Jamiak untuk mengunjungi Urang Tuo (tidak disebut namanya) untuk belajar ilmu kebal peluru. Sesudah dua jam Haji Jamiak datang mengatakan bahwa Urang Tuo tidak ingin mengajarkan di sana tetapi berjanji akan datang sendiri ke Kamang.[7]
Malamnya tak lama setibanya di Kamang, Kari Mudo didatangi oleh Pado Kayo murid dari Urang Tuo. Rupanya Pado Kayo menyampaikan pesan dari gurunya kepada kari Mudo. Isi pesannya ialah permintaan maaf sebab tak dapat datang karena beliau sedang sakit. [8]
Hari Jumat tanggal 5 Juni 1908, Malin Mancayo datang kepada Kari Mudo untuk mencoba jimat-jimat yang didapatnya dari angku Syekh di Langkung (daerah Payakummbuh). Mula-mula dimasukkan dalam tabung bambu lalu ditembak. Ternyata bambunya bolong, kemudian di ikatka pada ayam, dan ditembak lagi, ternyata ayamnya tidak mati.
Sebagai persiapan lebih lanjut, diadakan rapat lagi di Surau Tuanku Pincuran, hadir antara lain, Dt. Makhudun, Kari Mudo, Dt. Rajo Pangulu, Tuanku Sutan dan Dt. Nan Basa (Pangulu Suku dari Babukik[9]). Isi dari rapat ialah persesuaian paham untuk tidak membayar pajak. Kari Mudo dan Dt. Rajo Pangulu meminta Tuanku Pincuran agar mengunjungi Syekh di Lakung, belajar ilmu kebal disana untuk kemudian mengajarkan lagi kepada yang lain. Jimat-jimat akan dibuat oleh Tuanku Sutan, disamping tugasnya (bersama Malin Mudo) memperhatikan siapa-siapa yang membayar pajak. Tidak lama kemudian diadakan lagi rapat di Surau Dt. Makhudun. Antara lain dikunjungi oleh Tuanku Pincuran, Dt. Rajo Pangulu, Malin Saulah, Buyung, Saidi Batudung, St. Mangkuto, St. Biaro, St. Dibudi, Nan Basikek dan Pandeka Mudo atau Pandeka Bulando (yang disebut paling belakang mengancam akan membunuh setiap orang yang membayar pajak). [10]
Alim Ulama
H. Abdul Manan, adalah seorang ulama asal Bansa Nagari Hilalang[11], salah seorang isterinya ialah seorang perempuan asal kampung Baruh Bukik dari pasukuan Sikumbang. Ketika bergabung dengan Dt. Rajo Pangulu dalam pergerakan beliau sedang mengajar mengaji di kampung Bungo Tanjuang Kamang. [12]
Beliaulah yang akhirnya melakukan koordinasi dengan dunsanak orang kampung beliau semua di Bansa. Merekapun sepakat dengan perlawanan ini, dunsanak-dunsanak di Bansapun merasa tak patut kiranya kita orang Minang ini yang membayar belasting kepada orang Belanda. Perlawanan orang-orang di mudiak terpusat pada sosok Haji Abdul Manan yang merupakan orang besar dalam nagari mereka. Seorang ulama terkemuka yang sangat dihormati oleh sekalian anak nagari.
Kesibukan Menanti Perang
Ketiga tokoh inilah yang kelak yang menjadi motor penggerak perlawanan rakyat di Kamang. berbagai pertemuan diadakan, latihan ilmu bela diri semakin ditingkatkan, begitu juga dengan penguasaan ilmu batin. Salah satu pertemuan yang dihadiri oleh para pemimpin dari Agam Tua, Padang Panjang, Manggopoh, dan Lubuk Basung diadakan pada tanggal 2 Juni 1908. Dalam rapat tersebut diputuskan akan mengadakan aksi menentang Belanda.
Dt. Rajo Pangulu sebagai pemimpin gerakan memesan senjata ke Salo[13] sekaligus berusaha memobilisasi rakyat guna menghadapi tantangan dari pihak Belanda. H. Abdul Manan membawa kata sepakat ke Bansa Nagari Hilalang kampung halamannya dan berusaha mengumpulkan pendukung guna menambah kekuatan yang telah ada di Kamang. A. Wahid Kari Mudo bertugas memotivasi kaum muda dan menggalang kekuatan dengan daerah lain.[14]
Kesibukan tidak hanya ditingkat pimpinan tetapi juga dikalangan rakyat. Dimana-mana di Nagari Kamang rakyat sibuk berlatih ilmu bela diri, mempersiapkan senjata dan lain-lain.Adasebuah cerita yang sangat menyentuh hati yang terjadi di halaman Masjid Taluak. Seorang ibu yang sedang beristirahat dari berlatih silat didatangi oleh putranya yang baru berusia enam tahun. Kepada sang ibu si anak bertanya “Kalau ibunda, mamak, & ayah pergi berperang dan mati, dengan siapalah ananda akan tinggal nanti?”.
Sang ibu yang bernama Siti Annisah termenung sejurus, memandang pada tubuhnya yang bermandi keringat dan kepada suaminya yang bernama Nan Basikek yang ketika itu sedang berlatih di tengah gelanggang. Dengan mengelus kepala putranya dengan rasa sayang dia menjawab ”Semua orang akan menjadi ibunda, mamak, & ayah mu nanda, selagi dia masih membenci penjajah.”
Si anak yang masih kecil ini bingung tidak mengerti dengan jawaban sang ibu. Siti Annisah cepat-cepat mendekap putranya takut timbul pertentangan di dalam hatinya. Dalam pertempuran 15 Juli tersebut sang ibu gugur bersama seorang wanita lainnya.[15]
Pecahnya Perang
Pada hari Kamis tanggal 11 Juni, telah banyak orang-orang yang berkumpul di surau H. Abdul Manan di Bungo Tanjuang. Hadir dalam pertemuan itu putranya Haji Amat, Maruhun Putih, Dt. Rajo Pangulu, Dt. Marajo Aji, Abdul Samat, dan Si Hitam. Serta seorang perempuan yang kelak menjadi perhatian karena keberaniannya. Perempuan tersebut ialah Siti Asiah istri Dt. Rajo Pangulu yang kabarnya masih muda den jelita (kurang lebih berusia 20 th). Pertemuan ini digunakan untuk memotivasi para pejuang, jika pemimpin mati perjuangan janganlah ikut berhenti melainkan agar terus dilanjutkan.
Provokasi mulainya perang dilakukan oleh salah-seorang penduduk yang datang kepada Mantri Kopi Agus Warido untuk membayar pajak pada hari Senin tanggal 15 Juni, orang ini dihadang oleh rakyat setempat, diancam akan dibunuh jika niat ini diteruskan. Pristiwa ini langsung tersiar kemana-mana, rakyatpun semakin tegang. Agus Warido yang menjabat tidak hanya sebagai mantri kopi tetapi juga sebagai Pejabat Laras Magek melapor ke atasannya Westennenk di Fort de Kock.
Westennenk yang mendapat kabar dari Warido segera paham bahwa ini adalah pertanda perang. Sebelumnya dia telah mendapat kabar dari Jaar Dt. Batuah Kepala Laras Tilatang (sekitar 8 Km dari Kamang) mengenai situasi di Bansa Nagari Hilalang Kelarasan Kamang mengenai pergerakan H. Abdul Manan. Hal ini memaksa Westennenk mengubah rencana yang semula akan pergi dengan kelompok patroli ke tiga. Kini setelah mendapat informasi dari Jaar Dt. Batuah dia akan ikut dengan kelompok patroli ke dua.
Westennenk meninggalkan posnya di Fort de Kock dengan membawa 160 orang pasukan yang dibagi tiganya:
Patroli pertama terdiri atas Penghulu Kepala Pauh dan seorang polisi, mereka akan berjalan melalui Mandiangin, Gaduik, dan Koto Malintang menuju Pauh. Dipimpin oleh Letnan Heine dan Cheriex, terdiri atas 30 tentara.
Patroli ke dua dipimpin langsung oleh Westeennenk bersama Kapten Lutz, Letnan Leroux, Letnan Dua Van Keulen dengan 80 orang tentara. Mereka berjalan melalui Manggis, Pakan Kamis, Ambacang, dan Tapi, menuju Ilalang dan Tangah.[16]
Patroli ketiga, dipimpin oleh Letnan Boldingh dan Letnan Dua Schaap dengan 50 orang tentara. Patroli ini bergerak melalui Nagari Kapau, Tigo Lurah (Magek), dan Tangah (Kamang).
Pasukan Letnan Boldingh mendapat perlawanan yang sengit dari Dt. Parpatiah di Magek. Pejabat Kepala Laras Magek Agus Warido tewas dibunuh oleh Dt. Parpatiah sewaktu datuk ini hendak ditangkap di Lurah (Nagari Tigo Lurah). Sedangkan Penghulu Kepala Tigo Lurah dan dua serdadu luka-luka. Dilain tempat pasukan yang dipimpin Westennenk atas informasi dari Jaar Dt. Batuah, mengepung rumah istri H. Abdul Manan di Kampung Tapi. Ternyata yang dicari tidak bersua, rumah ini ditunggui oleh tiga orang wanita. H. Abdul Manan telah terlebih dahulu melarikan diri ke Tangah menemui Dt. Rajo Pangulu guna mengabarkan pergerakan Belanda.
Pada pukul 12.00 dini hari didapat kabar kalau Belanda telah berkumpul di Kampung Tangah (perbatasan antara Kamang Hilir dengan Kamang Mudik sekarang) menunggu matahari terbit. Hal ini disadari oleh Dt. Rajo Pangulu, bersama pemimpin lainnya (kecuali H.Abdul Manan yang telah kembali ke kempungnya guna mengkoordinir gerakan) memutuskan untuk pergi menyongsong musuh.[17] Pertimbangan dari Dt. Rajo Pangulu ialah karena Kp.Tangah merupakan daerah lengang dengan perumahan penduduk yang tidak seberapa.
Pasukan yang dipimpin oleh Dt. Rajo Pangulu berkumpul di Masjid Taluak, masjid yang selama ini menjadi pusat gerakan. Instruksi dan penjelasan mengenai pertempuran yang akan segera berlangsung diberikan di sini. Pasukan dibagi menjadi beberapa kelompok, kelompok terbesar dipimpin oleh Qhadi Abdul Gani. Sebelum berangkat mereka melaksanakan shalat berjama’ah. Pasukan ini berangkat dengan mengenakan pakaian putih-putih.
Di kegelapan pagi yang menyelimuti Kp.Tangah, ketika itu Westennenk atas laporan bahwannya melihat pergerakan segerombolan orang yang berpakaian putih-putih mendekati pasukannya. Dia menyeru kepada mereka agar kembali pulang, dengan membujuk agar mereka mengingat sanak keluarga dan orang yang dicintai jika hal-hal buruk menimpa mereka. Namun kelompok orang yang berpakaian putih ini tidak beranjak dari tempat mereka bahkan perlahan-lahan mendekati pasukan Belanda.
Westennenk dapat melihat kilatan senjata tajam di pinggang mereka setiap kali para pejuang berangsur-angsur maju. Sekali lagi Westennenk memperingatkan para pejuang ini untuk mundur dan dijawab oleh mereka “Jika tuan ingin menembak kami, tembak saja!”.
Westennenk tidak ingin membuang waktu lagi karena jarak antara pasukannya dengan para pejuang sudah mencapai 50-55 meter, maka dia memerintahkan untuk menembak. Segera semua pejuang bergerak untuk menyerang, maka terjadilah “perang basosoh”. Banyak yang tersungkur tetapi banyak juga yang berhasil masuk ke barisan tentara Belanda dan mengacau barisan mereka. Serangan demi serangan terus diterima oleh pasukan Belanda hingga mencapai 10 kali serangan. Serangan kesepuluh dilakukan oleh satu orang penyerang. Kegelapan malam ternyata menyulitkan pasukan Belanda untuk membidik secara tepat sasaran mereka. [18]
Jalannya pertempuran secara pasti tidak dapat diketahui, salah satu sumber yang diandalkan ialah Laporan Westennenk kepada Gubernur Heckler di Padang dan Gubernur Jendral Van Heutz di Batavia. Laporan ini tentu saja sangat bernuansa kolonial dimana peranan tentara penjajah dibesar-besarkan dan peranan rakyat dikecilkan. Selain itu jumlah yang tewas juga dimanipulasi, Westennenk dalam laporannya ke Gubernur di Padang menyebutkan kalau di pihak mereka 11 orang tewas ditambah 13 orang luka-luka. Sedangkan menurut buku “70 tahun Perang Kamang-Manggopoh” jumlah tentara Belanda yang tewas dalam penyerangan terhadap Kamang tidak kurang dari 425 orang.
Berpedati-pedati banyak mayat serdadu Belanda dari medan pertempuran Tangah dan Jambu di Magek yang dilarikan ke Fort De Kock ( Bukittinggi ). Bantuan yang lebih besarpun didatangkan dari Fort De Kock dan diperkuat lagi dengan pasukan-pasukan dari tangsinya di Padang Panjag, semuanya nenuju Kamang.
Barisan patriot terpaksa mengatur siasat lain dan perlawanan di tangguhkan. Datuk Rajo Pangulu dan Haji Abdul Manan telah gugur, dengan cepat pula barisan patriot dibawah pimpinan Tuangku Laras mengurus mayat para syuhada yang telah gugur, kemudian barulah diketahui pada pagi harinya bahwa diantara patriot yang gugur itu terdapat dua wanita, yakni Siti Asiah isteri Dt. Rajo Pangulu dan Siti Anisah. Mereka telah mengenakan pakaian laki-laki ketika ikut menghadang kompeni Belanda.
Sumber lain mengenai pertempuran berasal dari rakyat Kamang sendiri yakni seorang mantan pejuang yaang menuturkan kisah mengenai kematian Siti Asiah kepada anaknya. Kisah ini juga dimuat oleh A. St. Majo Indo dalam bukunya Kamang dalam Pertumbuhan dan Perjuangan Menentang Kolonialis, hal 82;
Dia melihat Siti Asiah yang berada tidak jauh dari tempatnya berada sedang beristirahat setelah beberapa kali bertempur. Kemudian perempuan itu tiba-tiba melompat bangun, berlari dengan rambut tergerai menuju tiga orang serdadu Belanda yang berdiri di kegelapan. Suaminya Dt. Rajo Pangulu berteriak memperingatkan istrinya, tetapi dia tak peduli dengan peringatan suaminya. Pada jarak sekitar 3 meter menjelang sampai, kaki Siti Asiah terantuk pada sebuah benggolan tanah pematang dan terjatuh masuk selokan. Dia berusaha bangun secepatnya, akan tetapi tiba-tiba dua orang serdadu Belanda sudah berdiri mengacungkan laras senjata ke arahnya. Dalam keadaan terlentang tak berdaya, Siti Asiah hanya mengelinjang sebentar ketika salah seorang serdadu memasukkan moncong senapan kemulutnya dan menarik pelatuknya.
Datuk Rajo Pangulu yang sedang bertempur menghadapi dua orang Belanda lantas berpaling, dia berlari ke arah istrinya. Sebelum berhasil mencapai tubuh istrinya, terdengar lutusan senjata, Dt. Rajo Pangulu terhuyung-huyung beberapa langkah dan kemudian terjatuh disamping tubuh istrinya.
Akan halnya dengan H. Abdul Manan tewas ditembak Belanda di kampung kelahirannya Bansa. Begitulah nasib dari Tali Tigo Sampilin, hanya A.Wahid Kari Mudo[19] yang hidup, dia ditangkap dan dibuang ke Makassar. Adapun para pejuang yang tewas sebagian dari mereka dimakamkan di Makam Pahlawan di Taluak (Kamang Hilir)[20].
Ketegangan sebenarnya tidak hanya terjadi di Kamang tetapi juga di nagari-nagari lainnya di Minangkabau seperti Manggopoh, Ulakan, Lubuak Aluang, Batipuah, Duo Baleh Koto, dan lain-lain. Di nagari yang kokoh persatuan antara ninik mamak dan alim ulama maka terjadilah pemberontakan seperti di Kamang. Sedangkan di nagari yang tidak kokoh persatuannya maka banyak diantara rakyatnya yang pergi hijrah meninggalkan kampung menuju Malaya, seperti yang terjadi di Rao.[21]
Akan halnya Fort de Kock yang menjadi pusat pemerintahan di Agam Tua juga terjadi ketegangan. Tentara-tentara berpatroli siang dan malam, lepau-lepau tutup, pedati-pedati tidak jalan, kendaraan umum tidak kelihatan, hubungan kawat putus, gedung-gedung tutup, jalan kereta api dirusak, banyak yang mengungsi ke tangsi tentara dan berlindung disana. Beberapa insiden mengerikan terjadi membuat keadaan yang tegang menjadi semakin mencekam seperti delapan orang ditembak mati dalam perjalan ke pacuan kuda. Seorang penghulu andiko kabarnya sendirian menyerang tentara yang sedang berpatroli, akhirnya dia tewas ditembak. Terparah ialah kabar mengenai kabar yang beredar bahwa penduduk dari nagari yang berjarak 5 Km dari Fort de Kock akan menyerang guna membalas dendam atas kekejian yang terjadi di Kamang.
Perang Kamang telah membawa malapetaka bagi masyarakat Kamang, dimana rakyat kehilangan pemimpinnya. Sebagian dari mereka telah gugur di medan juang sedangkan yang tinggal telah ditahan, dihukum dan ada juga yang dibuang jauh ke negeri orang. Sedangkan yang lolos dari penangkapan lari meninggalkan kampung.
Tanggal 19 Juli 1908, Angku Lareh Kamang Garang Datuk Palindih bersama dengan 2 orang kemenakannya Datuk Siri Marajo Penghulu Kepala Tangah dan A. Wahid Kari Mudo ditangkap dan ditahan di Fort de Kock.
Tanggal 21 Juli, Kari Mudo dipindahkan ke tangsi (penjara) Padang. Beberapa bulan kemudian menyusul Garang Dt. Palindih dan Dt. Siri Marajo. Mereka ditahan di Penjara Padang selama 10 bulan, untuk selanjutnya dipindahkan ke tangsi Gelodok Betawi.
Bulan Juni 1910 Datuk Siri Marajo meninggal dalam penjara. Beberapa hari kemudian Garang Datuk Palindih dibebaskan dan diizinkan pulang kampung ke Kamang. Sedangkan A. Wahid Kari Mudo divonis “Pembuangan ke Makasar untuk masa yang tidak ditentukan“. Namun 27 tahun kemudian beliau dipindahkan ke Jakarta dan meninggal di sana pada tahun 1952.
Penutup
Begitulah sejarah dari Perang Kamang yang terjadi pada tahun 1908. Perang ini juga dikenal dengan nama “Pemberontakan Pajak, Perang Belasting, atau Pemberontakan Belasting”. Sebelumnya Kamang juga muncul dalam sejarah sebagai pusat dari Gerakan Paderi sebelum kepemimpinan beralih ke tangan Tuanku Imam Bonjol. Kamang juga kemudian menjadi tempat pelarian bagi para pejuang PDRI dan PRII.
Begitu besarnya perang ini, sampai-sampai pemerintah Kolonial Belanda di Fort de Kock membuat sebuah tugu sebagai penanda. Tugu itu pada saat sekarang ini terletak di depan bangunan Rumah Sakit Ahmad Muchtar. Berbentuk balok yang ditegakkan vertikal. Namun sayang tak ada yang memperhatikan, bahkan banyak diantara orang Kamang yang tidak mengetahuinya.
Begitulah pendirian orang Kamang yang keras hati, berteguh hati memegang Syari’at dan Adat. Suatu jiwa, semangat, dan mentalitas yang patut dijadikan teladan bagi generasi sekarang. Namun sayangnya semangat semacam itu sudah tak ada lagi pada anak Nagari Kamang. Yang diwarisi dari Perang Kamang ialah kekerasan watak dan jiwa anak nagari. Berkeras hati akan sesuatu yang dipandang baik, padahal sebenarnya bertentangan dengan adat dan agama. Hingga kini orang Kamang masihlah dikenal dengan kekerasan watak dan karakter orang-orangnya.
Sangat ramai di Nagari Kamang saat ini, anak nagari melanggar adat dan agama. Kesemuanya hanya mendapat ceme’ehan, gunjingan, ataupun senyuman. Sangat jarang teguran yang didapat. Namu pabila ada orang berserban putih muncul di dalam nagari maka cap teroris ataupun aliran sesat dengan mudah dijatuhkan. Berpakaian sempit tak apa, tapi berpakaian lapang ialah teroris.
Begitulah tuan, semoga curaian kami ini dapat menjadi pelita dikegelapan, soeloeh dipekatnya malam. Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah. Kita amalkanlah hendaknya duhai tuan..
Sumber Kami
Kisah ini kami tulis dengan menjadikan buku Monografi Nagari Kamang Th. 1995 dan Buku Kamang dalam Pertumbuhan dan Perjuangan Menentang Kolonialis oleh A. St. Majo Indo. Selain itu buku “Ajah Ku” oleh Hamka dan buku “Perang Kamang” oleh Rusli Amran juga kami jadikan sebagai salah satu referensi kami.
[1] Dalam arsip-arsip Pemerintahan Belanda orang Minangkabau disebut dengan sebutan “Orang Melayu”. Belum didapat keterangan mengenai asal mula panggilan ini. Namun panggilan ini tidaklah salah, sebab orang Minangkabau merupakan bagian dari keluarga besar Suku Melayu yang menyebar di Asia Tenggara. Kita orang Minangkabau ialah puak (bagian) dari Suku Melayu. Hanya saja kita tidak menempatkan kata “Melayu” didepan nama Minangkabau. Berlainan dengan orang Riau.
[2] Nagari Kamang merupakan nagari yang menganut sistim Kelarasan Koto Piliang dan juga merupakan nagari nan ba ampek suku. Maksudnya merupakan nagari yang dihuni dan diperintahi oleh empat suku adat. Namun keempat suku adat tersebut terpecah lagi atas beberapa suku. Keempat suku tersebut dipimpin oleh empat orang Datuak Pucuak yang biasa disebut dengan Basa Nan Barampek. Mereka itu ialah Datuak Mangkhudun dari Suku Ampek Ibu, Datuak Panglimo dari Suku Jambak, Datuak Tuo dari Suku Koto, dan Datuak Marajo dari Suku Sikumbang.
[4] Penghulu Kepala sama dengan Wali Nagari sekarang. Tangah ialah nama kawasan di Nagari Kamang yang meliputi Jorong Joho, Ampek Kampuang, Limo Kampuang, Nan Tujuah, dan Pintu Koto. Kawasan tersebut disebut dengan Patah. Nagari Kamang memiliki tiga Patah, yakni Patah Mudiak, Patah Tangah, dan Patah Hilia.
[5] Penghulu Kepala merupakan jabatan resmi pada Pemerintahan Kolonial Belanda. Pejabatnya mendapat gaji dari pemerintah. Jabatan ini dibuat guna mengatasi administrasi pemerintahan tradisional di Minangkabau yang dinilai kurang efektif. Sebab dalam menyelesaikan setiap urusan ataupun perkara dalam nagari, maka masalah tersebut diputuskan oleh para penghulu yang duduk di Balai Adat. Maka dari itu, Pemerintah Kolonial memutuskan untuk mengangkat satu orang penghulu dari sekian banyak penghulu yang akan dijadikan pemimpin dari sekalian penghulu tersebut. Maka dipanggillah ia dengan sebutan “Penghulu Kepala”
[6] Suayan adalah sebuah nagari yang pada tahun 1908 masuk ke dalam Kelarasan Kamang. Setelah Perang 1908 nagari ini dimasukkan ke dalam wilayah Limo Puluah Koto. Suayan dan Kamang sama-sama terletak di kaki Bukit Barisan, kedua nagari ini dipisahkan oleh Bukit Barisan, jalur transportasi antara kedua nagari ini ialah dengan melintasi Pegunungan Bukit Barisan.
[7] Pada masa ini gerakan pembaruan agama Islam di Minangkabau atau lebih dikenal dengan (Kaum Muda) belumlah sampai ke Nagari Kamang. Gerakan ini baru masuk di akhir Perang Kamang, dibawa oleh inyiak Syech Djamil Djambek sendiri ke Kamang. Kedatangan beliau atas permintaan Garang Dt. Palindih karena melihat merosotnya mental orang Kamang setelah kalah perang. Beliau membangun sebuah surau di tepi Batang Agam di Jorong Joho. Surau ini didirikan di atas tanah milik Kaum Dt. Palindih. Pada saat sekarang di lokasi tersebut berdiri sebuah heuler kepunyaan kamanakan dari Dt. Palindih.
[8] Menurut keterangan asli Belanda, Malin Saidi melihat Kari Mudo dan Haji Jamik lama berunding secara misterius dengan Pado Kayo. Malin Saidi yakni menurut yang dituturkannya kemudian selama interogasi polisi Belanda mengatakan bahwa si Pado Kayo tidak mau dijadikan kelinci percobaan.
[12] Hilalang pada saat sekarang merupakan nama salah satu jorong di Kenagarian Kamang Mudiak. Selain memiliki isteri di Baruh Bukik Kamang, beliau juga memiliki isteri di kampung halamannya Bansa.
[13] Koto Baru Kelarasan Salo terkenal dengan pandai besinya ketika itu. Para pandai besi di Koto baru kewalahan menghadapi pesanan senjata dari Kamang ketika itu, bahkan ada yang tidak terpenuhi. Untuk lebih jelas lihat Rusli Amran, Hal.143
[16] Tangah, selain terdapat di Kamang juga terdapat di Bansa merupakan nama salah satu kampung. Rumah Haji Abdul Manan terletak di kampung ini. Disinilah terjadinya perang besar antara rakyat Kamang dengan Belanda. Jalanannya lurus, diapit oleh kawasan persawahan nan luas. Berbatasan langsung dengan Kampung Koto Panjang di Kamang.
[17] Dari sudut pandang militer, pertahanan yang terbaik ialah menyerang. Jika medan tempur berada di pusat gerakan ini merupakan pertanda kalau pertahanan rakyat benar-benar payah.
[18] Untuk lebih jelasnya mengenai gambaran jalannya pertempuran silahkan lihat A.St.M.Indo. Kamang dalam Pertumbuhan dan Perjuangan Menentang Kolonialis. Hal. 79-85 dan Rusli Amran. Sumatera Barat Pemberontakan Pajak 1908, bag ke-1. hal. 143-153.
[19] Dengan tidak mengurangi penghargaan kita kepada tokoh-tokoh Perang Kamang yang telah diterima masyarakat sebagai pemimpin perang seperti H. A. Manan, Dt. Rajo Pangulu dan pejuang perempuan Siti Asiah, kita ingin pula menampilkan nama A. Wahid Kari Mudo seorang pemimpin kharismatik sebagai Penggerak Perang Kamang . Hal ini didasarkan kepada kenyataan berikut :
- Peranan Kari Mudo membimbing masyarakat sejak di umumkan peraturan pajak bulan Maret 1908 sampai bulan Juni menjelang meletusnya perang. Hal ini di gambarkan dengan jelas Rusli Amran, Sumatera Barat Perang Pajak, hal 137 – 140.
- Kari Mudo merupakan seorang yang cerdas dan terpelajar di zamannya, seorang idealis, mempunyai pandangan yang luas, dan juga seorang pemimpin yang berpengaruh, baik di tengah-tengah masyarakat Kamang ataupun di Makasar, dimana beliau dibuang.
- Kari mudo adalah seorang pejuang yang konsisten, di kampung halamannya sendiri di Kamang, di tanah pembuangan di Makasar, dan di arena yang lebih luas di Jakarta. Beliau akrab dengan pemimpin pergerakan Nasional seperti H. Agus Salim dan M. Nasir. Berbeda dengan pejuang perang Kamang lainnya yang setelah bebas, mereka pulang ke Kamang dan mencoba untuk memperbaiki kampung, maka Kari Mudo setelah bebas dalam usia senja ( 62 tahun ), masih mempunyai semangat baja untuk terjun ke arena yang lebih luas di Jakarta.
[20] Sekali lagi Masjid Taluak menjadi tempat pengkaderan pemuda mujahid. Di sinilah dilatih pemuda – pemuda yang akan berangkat ke medan jihad di Kampung Tangah dan kesini pulalah syuhada Kampung Tangah dibawa kembali untuk di makamkan. Tahun 1963 makam ini diresmikan sebagai Makam Pahlawan Pejuang Perang Kamang tahu 1908 oleh Jenderal A. H. Nasution selaku WAMPA BIDANG PERTAHANAN / KEAMANAN.
Karena sudah tua, Masjid Taluak kemudian dibongkar dan sebagai penggantinya didirikan MASJID WUSTHA di Ampang terletak di Jorong Ampek Kampuang pada tahun 1927. Pada masa perjuangan periode 45-50, masjid ini telah dipakai sebagai asrama peserta latihan Opsir Barisan Sabilillah pada tahun 1947.
Tahun 1948 Pengurus Masjid ini atas nama masyarakat Kamang menyerahkan sebuah mesin pembangkit listrik untuk kepentingan perjuangan kepada Bapak Letkol Dahlan Jambek, selaku Komandan Komando Pertempuran Agam (KPA) Mesin listrik ini berasal dari Wakaf keluarga Almrhum Haji Ajisah Hasan, seorang anggota jama’ah yang baru pulang dari Singapura. Tahun 1972 Masjid tua dengan 4 lantai dibongkar dan digantikan dengan masjid baru yang terbuat dari batu.
INsya Allah, sama-sama berusaha kita Tuanku.
BalasHapusBerita tersebut telah kami baca, hal-hal demikianlah yang membuat malu kita. Ketidak tahuan berbuah kezaliman, mereka tidak sadar dengan apa yang mereka lakukan.
Yapp tuanku,, kami di mudiak, niniak mamak, urang tuo kampuang, alim ulama, urang rantau, dan pemuda sudah menyampaikan nota keberatan secara langsung. Kalau Tuanku pulang, bagaimana kalau kita diskusi. Ambo di pakan sinayan. 081374665996
BalasHapusTarimo kasih Tuanku, namun tampakno agak sulit bagi kami untuk memenuhi permintaan dari Tuanku tersebut. Bertukar kabar melalui email atau facebook sajalah Tuanku..
BalasHapus[…] ninik-ninik kita dahulunya duhai engku dan encik sekalian. Oleh karena ini pullah maka selepas Perang Kamang 1908 - dimana Belanda memerintahkan penggantian nama nagari kita dimana nama Kamang tak boleh lagi […]
BalasHapusAssalamualaikum,,,,Menarik,,,,dan membuat saya ingin membaca buku karangan rusli amran,,,kalau bapak punya saya ingin meminjam nya,,,trimakasih
BalasHapusWa'alaikum salam,..
BalasHapusKami rasa engku telah punya dan telah pula membacanya MUngkin engku terlupa..
[…] arah ke Timur dari Kota Bukittinggi. Perang Kamang dipimpin oleh “Tali Tigo Sampilin”, M. Saleh Dt. Rajo Pangulu (Niniak Mamak), Haji Abdul Manan (Alim Ulama), dan Abdul Wahid Kari Mudo (…. Pemberontakan ini membuat Controleur Agam Tua yang ketika itu dijabat oleh L.C Westerneck […]
BalasHapus