[caption id="attachment_697" align="alignright" width="224"] Maaf engku dan encik sekalian, tak ada gambar yang sesuai dapat oleh kami.[/caption]
Mambato atau mambatua kubua, pernahkah engku dan encik mendengar hal tersebut? Kami yakin bagi sebagian besar anak muda di Nagari Kamang sudah merasa janggal pabila mendengar hal yang demikian. Namun tidak demikian dengan orangtua kita yang lahir pada masa tahun 70-an ke atas. Cobalah engku tanya kepada mereka, Insya Allah diantara mereka pastilah masih ada yang terkenang akan hal tersebut.
Mambato atau mambatua ialah memberi tanda atau semacam pembatas kepada kuburan keluarga yang baru meninggal. Dahulu orang menggunakan batu sedangkan pada masa sekarang orang menggunakan kayu saja yang dapat dibuatkan oleh beberapa oloh[1] yang ada di kampung kita. Biasanya diadakan 2-7 hari selepas kematian.
Acara mambato kubua ini biasanya dimulai dari sekitar pukul tujuh pagi[2] hingga pukul sembilan. Dalam acara (ritual) ini biasanya fihak keluarga yang kemalangan akan mengundang seluruh keluarga besar (anak-cucu), karib kerabat (ipar-bisan, rang sumando, bako, mamak), dan orang kampung. Kemudian selepas itu barulah diundang orang ke rumah untuk dijamu dengan makanan serta minuman. Tidak hanya sekedar itu saja, sebab makan dan minum tidak hanya makan dan minum biasa. Melainkan makan bajamba[3] disertai dengan pasambahan.[4]
Oleh karena itu sebagian orang kampung kita mendefenisikan acara mambato kubua ini sama dengan baralek.[5] Sebab untuk mempersiapkan acara ini membutuhkan dana yang tidak sedikit. Bagi sebagian keluarga, hal ini merupakan marwah[6] bagi keluarga mereka. Semakin besar, semakin banyak orang yang diundang, dan semakin banyak jamuan maka akan semakin terpandanglah suatu keluarga (menurut anggapan sebagian orang).
Selain ninik-mamak juga diundang Orang Siak[7] untuk membacakan do’a pada acara ini. Mendo’akan Si Mayat atau almarhum/almarhumah dan keluarga yang ditinggalkan.
Pada masa dahulu, hampir merata di seluruh Nagari Kamang ini orang mengadakan acara Mambato Kubua. Namun pada masa sekarang sudah sangat berkurang, hanya dunsanak kita di Jorong Koto Panjang saja yang masih mempertahankan acara ini.
Apa sebab sehingga hampir habis?
Banyak pendapat mengenai perkara ini, ada yang mengatakan kalau acara ini bid’ah karena tidak terdapat dalam ketentuan agama. Ada pula yang mengatakan kalau acara ini memberatkan bagi keluarga yang ditinggalkan. Sebab, sudahlah kehilangan anggota keluarga, orang kampungpun harus pula dijamu. Seharusnya orang kampung yang menjamu keluarga yang ditinggalkan karena begitu susahnya hati mereka sehingga sekedar untuk batanak memenuhi kebutuhan pada hari kemalangan itu terjadi saja mereka sudah tak memiliki fikiran, tenaga, dan gairah.
Selain itu, acara ini sangat memberatkan dari segi ekonomi, apalagi pada kehidupan zaman sekarang. Tidak semua orang memiliki kesanggupan untuk melaksanakannya.
Namun daripada itu, kami menerima segala pendapat yang ada. Masing-masing benar pada tempatnya, menurut pengetahuan dan kearifan dari yang memiliki pendapat. Namun marilah kami coba menerangkan akan satu hal kepada engku dan encik.
Berbagai acara atau ritual adat yang berlaku dan pernah berlaku di masyarakat kita di Kamang dan Minangkabau ini. Sesungguhnya tidak bertumpu kepada materi, melainkan kepada raso[8] yakni baso-basi.[9] Tidak ada ritual adat yang memberatkan, contohnya saja ialah untuk pernikahan. Di Nagari Kamang, apabila ada satu keluarga yang sangat susah pencaharian (ekonomi) hidupnya yang hendak menikahkan anaknya. Maka cukuplah baginya untuk mengundang tuo kampung serta pemuka dari Empat Suku yang ada di kampung. Tidaklah ada kewajiban bagi mereka untuk menjamu seluruh kampung serupa yang biasa berlaku. Ada keringanan untuk itu..
Lagipula berbagai ritual adat tersebut terasa memberatkan pada masa sekarang karena kehidupan Orang Kamang sekarang telah individual[10] serupa dengan Orang Kota. Pada masa dahulu, segala macam bentuk ritual/prosesi/upacara adat yang berlaku di Minangkabau dilaksanakan oleh keluarga satu jurai,[11] satu kaum,[12] ataupun satu suku[13]. Segala biaya ditanggung bersama dan dilaksanakan bersama-sama pula. Namun hal tersebut akan berlainan dan terasa memberatkan apabila hanya ditanggung oleh satu orang saja.
Begitulah engku dan encik sekalian, kami mohon maaf apabila ada yang kurang berkanan. Jika ada masukan, koreksi, ataupun tambahan kami sangat bersenang hati menerimanya. Namun engku dan encik sekalian jangan lupakan pula raso jo pareso sarato kato nan ampek.
[2] Patokan waktu yang digunakan oleh orang kampung kita hingga saat ini masih membingungkan. Sebab tidak baku dan pasti sehingga terkadang apabila ada yang terlambat maka kita tak dapat menuntut keterlambatan mereka. Kami gunakan “sekitar” sebab bisa kurang (yang ini jarang) dan bisa pula lebih (dan ini biasanya yang terjadi. Kelebihan waktupun lebih dapat didefenisikan kepada “tak terhingga”)
[3] Makan bajamba secara harfiah didefenisikan dengan makan bersama. Namun sebenarnya pengertian tersebut terlalu dangkal, karena makan bersama-sama di rumah atau dalam satu ruanganpun namun para pesertanya makan pada piring tersendiri pada masa sekarangpun dikatakan sebagai makan bajamba. Seperti yang dipopulerkan oleh salah satu Pemda Kota di Sumatera Barat.
Sebagian ahli adat di Minangkabau memberikan pengertian makan bajamba ialah makan secara bersama-sama dengan menggunakan piring besar yang disebut dengan talam. Biasanya piring ini terbuat dari Keramik Cina dengan berbagai macam ketentuan (aturan) serta dengan susunan paling banyak 6 orang untuk masing-masing jamba. Makan ini ialah makan beradat, karena makan bajamba ini disertai dengan pasambahan untuk memulai dan mengakhirinya.
[4] Sebagian ahli adat di Minangkabau memberikan pengertian pasambahan ialah pidato adat. Namun sesungguhnya hal tersebut ialah keliru, karena pasambahan sesungguhnya ialah suatu media dalam berkomunikasi antara tuan rumah dengan tamu pada suatu prosesi adat. Dalam berpasambahan ini tak obahnya mereka sedang bercakap-cakap, bermediasi, ataupun berdiplomasi. Namun kata-kata yang digunakan bukanlah kata-kata biasa yang digunakan pada percakapan Orang Minangkabau sehari-hari. Melainkan kata-kata sastra yang penuh akan makna tersirat, dibawakan dengan nada (intonasi) suara tertentu (tidak ada standar baku). Terkadang memuat pantun, perumpamaan, puji-pujian, permintaan maaf, dan lain sebagainya.
[7] Orang Siak, Siak ialah nama salah satu Kerajaan di Propinsi Riau sekarang, memiliki hubungan kekerabatan dengan Minangkabau. Dipercayai, Siak merupakan salah satu sumber kedatangana Islam ke Minangkabau. Banyak mubalig-mubalig yang berdakwah ke Minangkabau berasal dari Siak. Serta di sinipun banyak terdapat madrasah-madrasah (sekolah) tempat menuntut ilmu dan mempersiapkan para mubalig untuk berdakwah. Maka harumlah nama Kerajaan ini di Minangkabau, karena banyaknya para ahli agama yang berasal dari didikan Madrasah di Siak maka dikenallah mereka dengan sebutan “Orang Siak”. Walaupun tidak semua dari mereka merupakan putra asli daerah Siak.
[8] Takaran perasaan dalam diri. Dalam menjalani kehidupan ini Nenek Moyang Orang Minangkabau lebih banyak menggunakan perasaan. Dengan menggunakan takaran persaaan tersebut, diukur diri sendiri dan diukur pula orang lain. Diusahakan agar segala ucapan dan perbuatan diri ini jangan sampai menyinggung apalagi menzhalimi orang lain. Oleh karena itu diperlukan dan diadakan berbagai acara (ritual) adat yang bukan bertujuan ibadah (hablumminallah) melainkan sosial (hablumminannas). Namun hal tersebut telah banyak ditinggalkan dan dilupakan oleh orang Kamang dan orang Minangkabau zaman sekarang.
[9] Kearifan diri tanda kehalusan budi dalam berhadapan dengan orang lain. Seperti menanyakan keadaan kesehatan dan keadaan keluarga seseorang sebelum maksud hati diutarakan. Terpantang berbicara to the point apalagi blak-blakan. Bagi orang Minang, hal tersebut tanda orang tidak diajari, tidak berpendidikan, tidak bersekolah, tidak bermamak, dan tidak memiliki malu.
[10] Berarti sendiri, maksudnya lepas dari ikatan kelompok tidak merasa diri menjadi bagian dari kelompok tertentu dalam hal ini kaum dan suku. Tidak memiliki keinginan untuk mengikuti berbagai acara ritual adat yang diadakan di kampung, tidak pula memiliki itikad untuk menghadirinya, dan memandang remeh segala bentuk ritual atau prosesi adat.
[12] Kaum terdiri atas beberapa jurai, misalnya satu buyut (nenek dari nenek) atau moyang (ibu dari buyut).
Penghulu dapat mengelapalai satu kaum saja. Bahkan ada satu penghulu yang hanya mengepalai satu keluarga saja. Hal ini tergantung dari jumlah anak perempuan yang terdapat dalam jurai ataupun kaum.
Mambato atau mambatua kubua, pernahkah engku dan encik mendengar hal tersebut? Kami yakin bagi sebagian besar anak muda di Nagari Kamang sudah merasa janggal pabila mendengar hal yang demikian. Namun tidak demikian dengan orangtua kita yang lahir pada masa tahun 70-an ke atas. Cobalah engku tanya kepada mereka, Insya Allah diantara mereka pastilah masih ada yang terkenang akan hal tersebut.
Mambato atau mambatua ialah memberi tanda atau semacam pembatas kepada kuburan keluarga yang baru meninggal. Dahulu orang menggunakan batu sedangkan pada masa sekarang orang menggunakan kayu saja yang dapat dibuatkan oleh beberapa oloh[1] yang ada di kampung kita. Biasanya diadakan 2-7 hari selepas kematian.
Acara mambato kubua ini biasanya dimulai dari sekitar pukul tujuh pagi[2] hingga pukul sembilan. Dalam acara (ritual) ini biasanya fihak keluarga yang kemalangan akan mengundang seluruh keluarga besar (anak-cucu), karib kerabat (ipar-bisan, rang sumando, bako, mamak), dan orang kampung. Kemudian selepas itu barulah diundang orang ke rumah untuk dijamu dengan makanan serta minuman. Tidak hanya sekedar itu saja, sebab makan dan minum tidak hanya makan dan minum biasa. Melainkan makan bajamba[3] disertai dengan pasambahan.[4]
Oleh karena itu sebagian orang kampung kita mendefenisikan acara mambato kubua ini sama dengan baralek.[5] Sebab untuk mempersiapkan acara ini membutuhkan dana yang tidak sedikit. Bagi sebagian keluarga, hal ini merupakan marwah[6] bagi keluarga mereka. Semakin besar, semakin banyak orang yang diundang, dan semakin banyak jamuan maka akan semakin terpandanglah suatu keluarga (menurut anggapan sebagian orang).
Selain ninik-mamak juga diundang Orang Siak[7] untuk membacakan do’a pada acara ini. Mendo’akan Si Mayat atau almarhum/almarhumah dan keluarga yang ditinggalkan.
Pada masa dahulu, hampir merata di seluruh Nagari Kamang ini orang mengadakan acara Mambato Kubua. Namun pada masa sekarang sudah sangat berkurang, hanya dunsanak kita di Jorong Koto Panjang saja yang masih mempertahankan acara ini.
Apa sebab sehingga hampir habis?
Banyak pendapat mengenai perkara ini, ada yang mengatakan kalau acara ini bid’ah karena tidak terdapat dalam ketentuan agama. Ada pula yang mengatakan kalau acara ini memberatkan bagi keluarga yang ditinggalkan. Sebab, sudahlah kehilangan anggota keluarga, orang kampungpun harus pula dijamu. Seharusnya orang kampung yang menjamu keluarga yang ditinggalkan karena begitu susahnya hati mereka sehingga sekedar untuk batanak memenuhi kebutuhan pada hari kemalangan itu terjadi saja mereka sudah tak memiliki fikiran, tenaga, dan gairah.
Selain itu, acara ini sangat memberatkan dari segi ekonomi, apalagi pada kehidupan zaman sekarang. Tidak semua orang memiliki kesanggupan untuk melaksanakannya.
Namun daripada itu, kami menerima segala pendapat yang ada. Masing-masing benar pada tempatnya, menurut pengetahuan dan kearifan dari yang memiliki pendapat. Namun marilah kami coba menerangkan akan satu hal kepada engku dan encik.
Berbagai acara atau ritual adat yang berlaku dan pernah berlaku di masyarakat kita di Kamang dan Minangkabau ini. Sesungguhnya tidak bertumpu kepada materi, melainkan kepada raso[8] yakni baso-basi.[9] Tidak ada ritual adat yang memberatkan, contohnya saja ialah untuk pernikahan. Di Nagari Kamang, apabila ada satu keluarga yang sangat susah pencaharian (ekonomi) hidupnya yang hendak menikahkan anaknya. Maka cukuplah baginya untuk mengundang tuo kampung serta pemuka dari Empat Suku yang ada di kampung. Tidaklah ada kewajiban bagi mereka untuk menjamu seluruh kampung serupa yang biasa berlaku. Ada keringanan untuk itu..
Lagipula berbagai ritual adat tersebut terasa memberatkan pada masa sekarang karena kehidupan Orang Kamang sekarang telah individual[10] serupa dengan Orang Kota. Pada masa dahulu, segala macam bentuk ritual/prosesi/upacara adat yang berlaku di Minangkabau dilaksanakan oleh keluarga satu jurai,[11] satu kaum,[12] ataupun satu suku[13]. Segala biaya ditanggung bersama dan dilaksanakan bersama-sama pula. Namun hal tersebut akan berlainan dan terasa memberatkan apabila hanya ditanggung oleh satu orang saja.
Begitulah engku dan encik sekalian, kami mohon maaf apabila ada yang kurang berkanan. Jika ada masukan, koreksi, ataupun tambahan kami sangat bersenang hati menerimanya. Namun engku dan encik sekalian jangan lupakan pula raso jo pareso sarato kato nan ampek.
[2] Patokan waktu yang digunakan oleh orang kampung kita hingga saat ini masih membingungkan. Sebab tidak baku dan pasti sehingga terkadang apabila ada yang terlambat maka kita tak dapat menuntut keterlambatan mereka. Kami gunakan “sekitar” sebab bisa kurang (yang ini jarang) dan bisa pula lebih (dan ini biasanya yang terjadi. Kelebihan waktupun lebih dapat didefenisikan kepada “tak terhingga”)
[3] Makan bajamba secara harfiah didefenisikan dengan makan bersama. Namun sebenarnya pengertian tersebut terlalu dangkal, karena makan bersama-sama di rumah atau dalam satu ruanganpun namun para pesertanya makan pada piring tersendiri pada masa sekarangpun dikatakan sebagai makan bajamba. Seperti yang dipopulerkan oleh salah satu Pemda Kota di Sumatera Barat.
Sebagian ahli adat di Minangkabau memberikan pengertian makan bajamba ialah makan secara bersama-sama dengan menggunakan piring besar yang disebut dengan talam. Biasanya piring ini terbuat dari Keramik Cina dengan berbagai macam ketentuan (aturan) serta dengan susunan paling banyak 6 orang untuk masing-masing jamba. Makan ini ialah makan beradat, karena makan bajamba ini disertai dengan pasambahan untuk memulai dan mengakhirinya.
[4] Sebagian ahli adat di Minangkabau memberikan pengertian pasambahan ialah pidato adat. Namun sesungguhnya hal tersebut ialah keliru, karena pasambahan sesungguhnya ialah suatu media dalam berkomunikasi antara tuan rumah dengan tamu pada suatu prosesi adat. Dalam berpasambahan ini tak obahnya mereka sedang bercakap-cakap, bermediasi, ataupun berdiplomasi. Namun kata-kata yang digunakan bukanlah kata-kata biasa yang digunakan pada percakapan Orang Minangkabau sehari-hari. Melainkan kata-kata sastra yang penuh akan makna tersirat, dibawakan dengan nada (intonasi) suara tertentu (tidak ada standar baku). Terkadang memuat pantun, perumpamaan, puji-pujian, permintaan maaf, dan lain sebagainya.
[7] Orang Siak, Siak ialah nama salah satu Kerajaan di Propinsi Riau sekarang, memiliki hubungan kekerabatan dengan Minangkabau. Dipercayai, Siak merupakan salah satu sumber kedatangana Islam ke Minangkabau. Banyak mubalig-mubalig yang berdakwah ke Minangkabau berasal dari Siak. Serta di sinipun banyak terdapat madrasah-madrasah (sekolah) tempat menuntut ilmu dan mempersiapkan para mubalig untuk berdakwah. Maka harumlah nama Kerajaan ini di Minangkabau, karena banyaknya para ahli agama yang berasal dari didikan Madrasah di Siak maka dikenallah mereka dengan sebutan “Orang Siak”. Walaupun tidak semua dari mereka merupakan putra asli daerah Siak.
[8] Takaran perasaan dalam diri. Dalam menjalani kehidupan ini Nenek Moyang Orang Minangkabau lebih banyak menggunakan perasaan. Dengan menggunakan takaran persaaan tersebut, diukur diri sendiri dan diukur pula orang lain. Diusahakan agar segala ucapan dan perbuatan diri ini jangan sampai menyinggung apalagi menzhalimi orang lain. Oleh karena itu diperlukan dan diadakan berbagai acara (ritual) adat yang bukan bertujuan ibadah (hablumminallah) melainkan sosial (hablumminannas). Namun hal tersebut telah banyak ditinggalkan dan dilupakan oleh orang Kamang dan orang Minangkabau zaman sekarang.
[9] Kearifan diri tanda kehalusan budi dalam berhadapan dengan orang lain. Seperti menanyakan keadaan kesehatan dan keadaan keluarga seseorang sebelum maksud hati diutarakan. Terpantang berbicara to the point apalagi blak-blakan. Bagi orang Minang, hal tersebut tanda orang tidak diajari, tidak berpendidikan, tidak bersekolah, tidak bermamak, dan tidak memiliki malu.
[10] Berarti sendiri, maksudnya lepas dari ikatan kelompok tidak merasa diri menjadi bagian dari kelompok tertentu dalam hal ini kaum dan suku. Tidak memiliki keinginan untuk mengikuti berbagai acara ritual adat yang diadakan di kampung, tidak pula memiliki itikad untuk menghadirinya, dan memandang remeh segala bentuk ritual atau prosesi adat.
[12] Kaum terdiri atas beberapa jurai, misalnya satu buyut (nenek dari nenek) atau moyang (ibu dari buyut).
Penghulu dapat mengelapalai satu kaum saja. Bahkan ada satu penghulu yang hanya mengepalai satu keluarga saja. Hal ini tergantung dari jumlah anak perempuan yang terdapat dalam jurai ataupun kaum.
Waktu orang tua kami wafat, di Ambacang, mambatua kubua juga sudah tak ada Pak. Kuburan ibu langsung di pagar begitu makam di tutup. Tapi setelah 4 hari kami tetap mandua, mengundang kerabat dekat. Mestinya menurut mamak kami pada hari ke-7. Namun karena anak2 ibu dan kerabat beliau harus kembali ke rantau acara di percepat jadi hari ke-4. Walau sudah yasinan selama tiga hari, kayaknya gimana gitu tanpa mendoakan beliau lagi, seperti melepas ternak saja..
BalasHapusMungkin mandua untuk orang meninggal juga sudah bukan tradisi di Magek sebab yang datang cuma sedikit. Beda waktu yasinan, rumah penuh tiap malam
Benar sekali pendapat ibu. Berbagai ritual dalam agama dan adat kita sesungguhnya bertujuan mendidik kehalusan budi bahasa kita orang Minang. Semakin merekatkan dan mendekatkan hubungan kita berkarib kerabat.
BalasHapusSebab dalam acara semacam itulah kita anak, kamanakan, cucu, mamak, orang tua, dan lain-lain berkumpul saling mengenal.
:-)