[caption id="attachment_824" align="alignright" width="300"] Tapai, dahulu dibungkus dengan daun pisang. Sekarang dibungkus dengan pelastik.
Gambar: Internet[/caption]
Entahkan kami atau engku dan encik sekalian juga merasakannya. Telah berubah peri kehidupan orang zaman sekarang. Kata salah seorang kawan kami “perubahan yang terjadi di negeri kita, menyebabkan kita semakin jauh dari adat dan agama kita. Jati diri (identitas) sebagai orang Minangkabau semakin pudar. Semuanya bergerak menuju satu tujuan, Jakarta..”
Suatu pernyataan yang sangat bernuansa putus asa sekali. Namun dalam hati kami membenarkan hal tersebut. Akan tetapi perubahan yang akan kami hendak bahas bukanlah perkara akhlak, perilaku, maunpun pola fikir. Melainkan masih berkisar perkara puasa ini juga engku dan encik sekalian..
Pada bulan puasa ini, sangatlah banyak orang menjual pabukoan di kampung kita. Macam-macam dijual oleh orang, seperti berbagai jenis gorengan, es, dan makanan dan minuman lainnya. Kami penasaran dan mencoba mencari tahu “Pada masa inyiak-inyiak kita serupa apakah keadaannya..?”
Kami mendapat jawapan bahwa keadaannya masih serupa yakni orang-orang di kampung kita memiliki kebutuhan untuk pabukoan. Hanya saja pabukoan yang mereka nikmati dahulu berbeda dengan pabukoan kita sekarang. Dahulu pabukoannya ialah segala macam jenis makanan khas, atau orang sekarang menyebutnya dengan makanan tradisional. Sebut saja segala macam kolak, bubua (bubua putiah, bubuak sipuluk itam, dan lain sebagainya), sari kayo, lamang, sanok,[1] sarabi, cindua, apam, tapai[2] dan lain sebagainya.
Keadaannya tentu berbeda dengan masa sekarang yang penuh dengan makanan jenis baru. Mungkin kata sebagian orang itu merupakan pertanda kemajuan, entahlah engku dan encik sekalian.
Pada bulan puasa inilah orang-orang di kampung kita memanjakan lambuangnya. Sebab ini merupakan kesempatan untuk membuat segala jenis makana khas kita. Karena pada hari biasa hal tersebut tak dapat dilakukan, melainkan pada keadaan-keadaan (momen) tertentu saja.
Engku dan encik tentunya bertanya “kenapa macam tu tuanku”?
Sebab berbagai jenis makanan tersebut hanya ada apabila ada acara baralek, gotong royong, atau keadaan-keadaan tertentu yang memang membutuhkan adanya makanan-makanan tersebut. Serupa randang yang dahulunya hanya dapat dibuat ketika hendak baralek saja. Tentu berlainan keadaan bagi beberapa keluarga yang dapat membuat rendang bila dibutuhkan.
Begitulah engku dan encik sekalian. Kalau boleh kami bertanya “masihkah encik pandai membuat berbagai jenis makanan khas negeri kita pada masa sekarang?”
Gambar: Internet[/caption]
Entahkan kami atau engku dan encik sekalian juga merasakannya. Telah berubah peri kehidupan orang zaman sekarang. Kata salah seorang kawan kami “perubahan yang terjadi di negeri kita, menyebabkan kita semakin jauh dari adat dan agama kita. Jati diri (identitas) sebagai orang Minangkabau semakin pudar. Semuanya bergerak menuju satu tujuan, Jakarta..”
Suatu pernyataan yang sangat bernuansa putus asa sekali. Namun dalam hati kami membenarkan hal tersebut. Akan tetapi perubahan yang akan kami hendak bahas bukanlah perkara akhlak, perilaku, maunpun pola fikir. Melainkan masih berkisar perkara puasa ini juga engku dan encik sekalian..
Pada bulan puasa ini, sangatlah banyak orang menjual pabukoan di kampung kita. Macam-macam dijual oleh orang, seperti berbagai jenis gorengan, es, dan makanan dan minuman lainnya. Kami penasaran dan mencoba mencari tahu “Pada masa inyiak-inyiak kita serupa apakah keadaannya..?”
Kami mendapat jawapan bahwa keadaannya masih serupa yakni orang-orang di kampung kita memiliki kebutuhan untuk pabukoan. Hanya saja pabukoan yang mereka nikmati dahulu berbeda dengan pabukoan kita sekarang. Dahulu pabukoannya ialah segala macam jenis makanan khas, atau orang sekarang menyebutnya dengan makanan tradisional. Sebut saja segala macam kolak, bubua (bubua putiah, bubuak sipuluk itam, dan lain sebagainya), sari kayo, lamang, sanok,[1] sarabi, cindua, apam, tapai[2] dan lain sebagainya.
Keadaannya tentu berbeda dengan masa sekarang yang penuh dengan makanan jenis baru. Mungkin kata sebagian orang itu merupakan pertanda kemajuan, entahlah engku dan encik sekalian.
Pada bulan puasa inilah orang-orang di kampung kita memanjakan lambuangnya. Sebab ini merupakan kesempatan untuk membuat segala jenis makana khas kita. Karena pada hari biasa hal tersebut tak dapat dilakukan, melainkan pada keadaan-keadaan (momen) tertentu saja.
Engku dan encik tentunya bertanya “kenapa macam tu tuanku”?
Sebab berbagai jenis makanan tersebut hanya ada apabila ada acara baralek, gotong royong, atau keadaan-keadaan tertentu yang memang membutuhkan adanya makanan-makanan tersebut. Serupa randang yang dahulunya hanya dapat dibuat ketika hendak baralek saja. Tentu berlainan keadaan bagi beberapa keluarga yang dapat membuat rendang bila dibutuhkan.
Begitulah engku dan encik sekalian. Kalau boleh kami bertanya “masihkah encik pandai membuat berbagai jenis makanan khas negeri kita pada masa sekarang?”
Komentar
Posting Komentar