[caption id="attachment_898" align="alignleft" width="300"] Permadani Hijau. Kami Haqul Yaqin bahwa di Kota tidak ada pemandangan serupa ini. Makanya hati orang Kota banyak yang gersang.
Gambar: Maizal Chaniago[/caption]
Banyak bajalan, banyak pulo nan dicaliak. Begitulah kira-kira pengajaran orang dahulu dan tampaknya hal semacam itu benarlah adanya. Dalam agama kitapun dianjurkan untuk pergi berjalan (traveler/musafir) meninggalkan negeri selama masih muda. Pergi berjalan menjadi musafir bukan untuk melancong melainkan untuk menambah ilmu, pengalaman, dan kearifan. Tujuannya ialah supaya kita tidak menjadi serupa katak di bawah tempurung.
Namun sudah menjadi fitrah bagi manusia ini bahwa ia diciptakan berbeda-beda oleh Allah Ta’ala. Tidaknya zahir melainkan juga bathin, sehingga kata pepatah kita lagi rambut bolehlah sama hitam, namun fikiran manusia itu bermacam ragam. Cara kita memandang apa yang kita lihat dan temui tentulah berbeda-beda, semua itu dapat kita telusuri kepada bekal yang telah ada pada diri kita semenjak kita dibesarkan. Bekal yang telah disiapkan oleh orang tua dan keluarga kita.
Apakah bekal itu engku dan encik sekalian?
Ialah ilmu, ilmu apakah kiranya?
Banyak tentunya, namun yang terpenting ialah Ilmu Agama dan Ilmu Adat bagi kita orang Minangkabau ini. Pelajarilah Agama dan Adat itu beriringan maka niscaya akan kita temui yang agama dan adat berbuhul mati itu. Jika kurang salah satu, maka timpanglah ia. Jika hal demikian yang berlaku, maka akan terdengar oleh kita orang yang berkata “Ternyata Agama dan Adat itu bertentangan di Minangkabau ini..” atau yang lebi buruk lagi “Agama dan Adat Menghambat Kemajuan..” Na’uzubillah..
[caption id="attachment_899" align="alignright" width="300"] Manolong ayah di sawah, bermain-main menangkap baluk, manangguak puyu, digigik lintah, bagulimang lunau.
Di kota juga tak ada, semuanya telah tercemari.
Gambar: Maizal Chaniago[/caption]
Banyak anak muda sekarang yang berfikiran meleset (sesat) karena bekal yang mereka miliki tidaklah cukup. Sehingga ketika tibanya masa mereka akan pergi merantau untuk menuntut ilmu, maka akan mudahlah fikiran mereka itu terpengaruh (diracuni) oleh ide-ide, ideologi, aliran pemikiran dan pemahaman, yang bertentangan dengan agama dan adat kita orang Minangkabau. Terlebih lagi apabila mereka telah dibutakan mata hatinya, sehingga dengan mudah memandang kehidupan “orang kampung” itu bodoh dan terbelakang.
Cobalah engku dan encik tengok pada masa sekarang, banyakk anak gadis yang bertelanjang berjalan di labuh. Anggapan mereka “untuk apa berjilbab kalau akhlak buruk, munafik itu namanya..”
Cobalah engku dan encik inap-inapkan (renungkan), kenapa pendapat demikian sampai keluar dari mulut mereka? Ya.. karena bekal yang kita berikan semasa mereka masih kanak-kanak dahulu belum cukup. Orang tua sekarang lebih terpaku kepada pendidikan sekolah, pendididkan umum bukan pendidikan agama dan adat. Kalaulah mereka diberi pengajaran agama yang cukup, tentulah takkan serupa itu pendapat mereka. Sudah terang bagi kita bahwa antara memakai pakaian yang Islami dengan berakhlak ialah dua perkara yang berbeda. Memakai baju yang Islami tidak langsung menjadikan seseorang itu berperilaku yang Islami pula. Melainkan pakaian tersebut merupakan salah satu kewajiban seorang muslim untuk menutup auratnya.
Adapula seorang yang berpendapat “Untuk apalah musabaqah itu diadakan, Al Qur’an dibaca dengan lantunan nada yang indah-indah namun perilaku orang yang membacanya tidak mencerminkan dari Al Qur’an itu sendiri..”
[caption id="attachment_900" align="alignleft" width="300"] Rangkaian Petak-petak Sawah. Sungguh suatu karya seni yang menakjubkan.
Gambar: Maizal Chaniago[/caption]
Terkejut pula kami mendengarnya, sebab pendapat serupa itu pernah pula terdengar oleh kami diucapkan para mahasiswa lainnya. Pernyataan tersebutpun takkan keluar dari mulut seorang muslim yang telah diberi bekal agama yang cukup oleh keluarganya. Namun apa hendak dikata, sekali lagi, pelajaran umum lebih diutamakan daripada pelajaran adat.
Jawapan dari pernyataan tersebut sangatlah muda “karena orang hanya membaca Bahasa Arabnya saja, sedangkan artinya tidak dibaca. Sebab sebagian besar dari kita orang Islam di Ranah Melayu ini tidaklah faham Bahasa Arab…”
Jadi engku dan encik sekalia, salahkan saja diri kita jangan orang lain. Kita yang tak becus mendidik anak kamanakan kita. Sehingga tatkala mereka balik dari rantau, maka semakin makan hatilah kita dibuatnya. Dengan pongah melenggang di tengah labuh di kampung kita. Bergaya bak orang kota yang sudah tercerahkan[1], berpendidikan, dan moderen. Orang kampung ini pandir saja dalam anggapan mereka.
Semoga Nagari Kamang Darussalam diberi oleh Allah kekuatan untuk menghadapi ini semua. Jangan sampai tanggallah agama dan adat di Kamang ini hendaknya..
Gambar: Maizal Chaniago[/caption]
Banyak bajalan, banyak pulo nan dicaliak. Begitulah kira-kira pengajaran orang dahulu dan tampaknya hal semacam itu benarlah adanya. Dalam agama kitapun dianjurkan untuk pergi berjalan (traveler/musafir) meninggalkan negeri selama masih muda. Pergi berjalan menjadi musafir bukan untuk melancong melainkan untuk menambah ilmu, pengalaman, dan kearifan. Tujuannya ialah supaya kita tidak menjadi serupa katak di bawah tempurung.
Namun sudah menjadi fitrah bagi manusia ini bahwa ia diciptakan berbeda-beda oleh Allah Ta’ala. Tidaknya zahir melainkan juga bathin, sehingga kata pepatah kita lagi rambut bolehlah sama hitam, namun fikiran manusia itu bermacam ragam. Cara kita memandang apa yang kita lihat dan temui tentulah berbeda-beda, semua itu dapat kita telusuri kepada bekal yang telah ada pada diri kita semenjak kita dibesarkan. Bekal yang telah disiapkan oleh orang tua dan keluarga kita.
Apakah bekal itu engku dan encik sekalian?
Ialah ilmu, ilmu apakah kiranya?
Banyak tentunya, namun yang terpenting ialah Ilmu Agama dan Ilmu Adat bagi kita orang Minangkabau ini. Pelajarilah Agama dan Adat itu beriringan maka niscaya akan kita temui yang agama dan adat berbuhul mati itu. Jika kurang salah satu, maka timpanglah ia. Jika hal demikian yang berlaku, maka akan terdengar oleh kita orang yang berkata “Ternyata Agama dan Adat itu bertentangan di Minangkabau ini..” atau yang lebi buruk lagi “Agama dan Adat Menghambat Kemajuan..” Na’uzubillah..
[caption id="attachment_899" align="alignright" width="300"] Manolong ayah di sawah, bermain-main menangkap baluk, manangguak puyu, digigik lintah, bagulimang lunau.
Di kota juga tak ada, semuanya telah tercemari.
Gambar: Maizal Chaniago[/caption]
Banyak anak muda sekarang yang berfikiran meleset (sesat) karena bekal yang mereka miliki tidaklah cukup. Sehingga ketika tibanya masa mereka akan pergi merantau untuk menuntut ilmu, maka akan mudahlah fikiran mereka itu terpengaruh (diracuni) oleh ide-ide, ideologi, aliran pemikiran dan pemahaman, yang bertentangan dengan agama dan adat kita orang Minangkabau. Terlebih lagi apabila mereka telah dibutakan mata hatinya, sehingga dengan mudah memandang kehidupan “orang kampung” itu bodoh dan terbelakang.
Cobalah engku dan encik tengok pada masa sekarang, banyakk anak gadis yang bertelanjang berjalan di labuh. Anggapan mereka “untuk apa berjilbab kalau akhlak buruk, munafik itu namanya..”
Cobalah engku dan encik inap-inapkan (renungkan), kenapa pendapat demikian sampai keluar dari mulut mereka? Ya.. karena bekal yang kita berikan semasa mereka masih kanak-kanak dahulu belum cukup. Orang tua sekarang lebih terpaku kepada pendidikan sekolah, pendididkan umum bukan pendidikan agama dan adat. Kalaulah mereka diberi pengajaran agama yang cukup, tentulah takkan serupa itu pendapat mereka. Sudah terang bagi kita bahwa antara memakai pakaian yang Islami dengan berakhlak ialah dua perkara yang berbeda. Memakai baju yang Islami tidak langsung menjadikan seseorang itu berperilaku yang Islami pula. Melainkan pakaian tersebut merupakan salah satu kewajiban seorang muslim untuk menutup auratnya.
Adapula seorang yang berpendapat “Untuk apalah musabaqah itu diadakan, Al Qur’an dibaca dengan lantunan nada yang indah-indah namun perilaku orang yang membacanya tidak mencerminkan dari Al Qur’an itu sendiri..”
[caption id="attachment_900" align="alignleft" width="300"] Rangkaian Petak-petak Sawah. Sungguh suatu karya seni yang menakjubkan.
Gambar: Maizal Chaniago[/caption]
Terkejut pula kami mendengarnya, sebab pendapat serupa itu pernah pula terdengar oleh kami diucapkan para mahasiswa lainnya. Pernyataan tersebutpun takkan keluar dari mulut seorang muslim yang telah diberi bekal agama yang cukup oleh keluarganya. Namun apa hendak dikata, sekali lagi, pelajaran umum lebih diutamakan daripada pelajaran adat.
Jawapan dari pernyataan tersebut sangatlah muda “karena orang hanya membaca Bahasa Arabnya saja, sedangkan artinya tidak dibaca. Sebab sebagian besar dari kita orang Islam di Ranah Melayu ini tidaklah faham Bahasa Arab…”
Jadi engku dan encik sekalia, salahkan saja diri kita jangan orang lain. Kita yang tak becus mendidik anak kamanakan kita. Sehingga tatkala mereka balik dari rantau, maka semakin makan hatilah kita dibuatnya. Dengan pongah melenggang di tengah labuh di kampung kita. Bergaya bak orang kota yang sudah tercerahkan[1], berpendidikan, dan moderen. Orang kampung ini pandir saja dalam anggapan mereka.
Semoga Nagari Kamang Darussalam diberi oleh Allah kekuatan untuk menghadapi ini semua. Jangan sampai tanggallah agama dan adat di Kamang ini hendaknya..
Komentar
Posting Komentar