Langsung ke konten utama

Batanun di Kamang dahulunya

[caption id="attachment_1012" align="alignright" width="224"]Salah satu Rumah Gadang nan telah Lapuak di Kamang. Kalau kami tak salah caliak, sekarang telah dirobohkan orang. Maaf gambar tak bersesuaian. Salah satu Rumah Gadang nan telah Lapuak di Kamang. Kalau kami tak salah caliak, sekarang telah dirobohkan orang.
Maaf gambar tak bersesuaian.[/caption]

Batanun (bertenun), apakah yang terfikirkan oleh engku dan encik apabila kami perdengarkan kata-kata tersebut?

Tentulah nama Nagari Pandai Sikek ataupun Silungkang yang terkenang oleh engku dan encik sekalian. Memang benarlah sebab kedua nagari tersebut sajalah yang masih mempertahankan tradisi menenun di Alam Minangkabau ini. Mungkin ada juga beberapa nagari di Luhak Limo Puluah Koto, Tanah Data, dan Rantau Sijunjuang yang juga masih ada tersisa kebiasaan menenun itu.

Namun tahukah engku dan encik sekalian bahwa dahulu sekali, di kampung kita, di Nagari Kamang Darusalam ini juga pernah hidup tradisi menenun. Dahulu sekali, sehingga tak seorangpun jua mengingatnya. Sampai pada suatu ketika kami bercerita-cerita dengan salah seorang inyiak aki kami di kampung. Tersebutlah dari mulutnya yang sudah ompong itu perihal peri kehidupan orang kampung kita semasa beliau kecil dahulu.

Dahulu semasa aden kecil, masih ada orang menenun di kampung awak ini. Aden tatkala hendak "berkatam kaji", pergi menjahitkan baju ke Amai Fulanah..” kisah inyiak aki kami itu.

“Tukang jahitkah beliah itu dahulunya duhai inyiak aki..?” tanya kami penasaran.

Bukan, beliau itu bertenun di rumahnya dahulunya. Pakaian yang ditanam oleh amai itu bahan-bahannya terbuat dari kapas, sangatlah berbeda dengan pakaian orang sekarang yang kebanyakan pakaiannya dari plastik. Bahkan orang paling marasai di kampung kitapun masa itu pakaiannya dari benang kapas…” jawab nyiak aki kami itu.

Kami menjadi penasaran dibuatnya, terbayang oleh kami bahwa sangatlah ramai kaum perempuan di Nagari Kamang ini menenun dahulunya. Pastilah riuh-rendah suara alat tenunnya di tengah nagari ini, duhai.. engku dan encik sekalian, alangkah indahnya membayangkan masa itu. Sungguh terlalu, terlalu lambat agaknya kami ini dilahirkan..

Kamipun melanjutkan bertanya “Berarti sangatlah ramai kaum perempuan di kampung kita ini bertenun dahulunya itu duhai inyiak aki..

Bukan begitu buyuang, yang menenun di kampung kita hanyalah anak perempuan orang Tujuah Janjang[1]. Sedangkan orang kebanyakan tidak demikian..” jawab inyiak aki kami.

Hancur sudah segala bayangan menyenangkan yang baru saja kami bangun dalam benak kami. Sangat berlainan memang dengan Nagari Silungkang dimana hampir seluruh Kaum Perempuan di nagari tersebut melakukan kegiatan pertenunan. Seperti kata pepatah lain padang-lain belalang, lain lubuak-lain pula ikannya.

[caption id="attachment_1050" align="alignleft" width="274"]Seorang penenun di Daratan Tinggi Minangkabau Sumber Gambar: http://minanglamo.blogspot.com/2011/11/ibu-hajjah-dan-penenun-kain-1920an.html Seorang penenun di Daratan Tinggi Minangkabau
Sumber Gambar: http://minanglamo.blogspot.com/2011/11/ibu-hajjah-dan-penenun-kain-1920an.html[/caption]

Namun setidaknya bahwa pada masa dahulu, tenun pernah ada di Nagari Kamang Darusalam. Dan lagi, kualitas pakaian orang-orang zaman dahulu jauh lebih bagus, lebih berkualitas, lebih bermutu dari pakaian orang sekarang. Pakaian orang sekarang itu serupa dengan ungkapan Rancak di Labuah. Terlalu banyak gaya, sampik, sok-moderen, dan lain sebagainya. Namun terbuat dari bahan yang rendah mutunya, berbeda dengan pakaian orang dahulu, seburuk-buruk apapun namun terbuat dari kapas.

Inyiak aki kamipun melanjutkan kisahnya "Namun yang paling bagus peralatan tenunnya ialah orang Silungkang jua. Mereka telah memakai alat tenun yang memakai injak-injak.."

Begitu rupanya, berarti orang kampung kita dahulunya memakai alat tenun yang dinamakan dengan alat tenun gedogan. Masih sangat sederhana tentunya sebab kain ditenun untuk dipakai sendiri atau dipakai oleh kaum kerabat lainnya, bukan untuk dijual.







[1] Ada juga yang menggelari dengan Bajanjang Batu. Artinya sama yakni Kaum Bangsawan.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Katam Kaji

[caption id="attachment_779" align="alignright" width="300"] Salah satu gambar yang kami dapat dari kampung[/caption] Terdengar oleh kami telah tiba pula musim Katam Kaji [1] di kampung kita. Pada hari Ahad yang dahulu (22 Juni 2013) kami dengar kalau orang di Surau Tapi yang ba arak-arak. [2] Kemudian pada hari Kamis yang lalu (27 Juni 2013) tiba pula giliran orang Joho dan sekarang hari Ahad (30 Juni 2013) merupakan tipak [3] orang Koto Panjang yang berarak-arak. Memanglah pada pekan-pekan ini merupakan pekan libur sekolah bagi anak-anak sekolah. Telah menerima rapor mereka. Memanglah serupa itu dari dahulu bahwa Katam Kaji dilaksanakan oleh orang kampung kita disaat libur sekolah. Namun ada juga yang berlainan, seperti orang Dalam Koto yang akan melaksanakan selepas Hari rayo Gadang [4] dan Orang Taluak yang kabarnya akan mengadakan selepas Hari Raya Haji . [5] Kami tak pula begitu jelas pertimbangan dari kedua kampung tersebut. Mungkin engku dan

29. Tata Upacara Adat Minangkabau: Upacara Batagak Pangulu

UPACARA BATAGAK PANGULU Salah satu upacara atau alek ( ceremony ) adat Minangkabau yang paling sakral yang mendapatkan perhatian dan perlakukan khsus adalah Batagak Pangulu atau ada juga yang menyebutnya Batagak Gala .  Upacara ini merupakan peristiwa pentasbihan dan pengambilan atau pengucapan sumpah serta janji seorang Pangulu pada saat ia diangkat dan dinobatkan sebagai pemimpin kaum yang bergelar Datuak. Upacara adat ini sesuai dengan ajaran Islam sebagaimana firman Allah mengingatkan: Sesungguhnyan orang-orang yang menukar janji ( nya dengan Allah ) dan sumpah-sumpah mereka dengan harga yang sedikit maka mereka itu tidak mendapat bahagian dari ( pahala ) di akhirat, dan Allah tidak akan berkata-kata dengan mereka dan tidak akan melihat kepada mereka pada hari kahirat dan tidak ( pula ) akan menyucikan mereka. Bagi mereka adalah azab yang pedih (QS:3:77). Pada bagian lain Allah juga mengingatkan: “ Dan janganlah kamu mengikuti orang yang selalu bersumpah, lagi yang hina ” (QS 6

Luak Gadang & Luak Kaciak

Luak , begitu sebagian orang Minang menyebutnya. Atau orang sekarang lebih mengenalnya dengan sebutan sumua atau sumur. Luak adalah sumber untuk mengambil air bagi sekalian orang, sebelum dikenalnya sistim penyaluran air oleh PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) sekarang. Pada masa sekarang, hampir sekalian rumah di Kamang memiliki luak namun tidak demikian pada masa dahulu. Dahulu luak hanya dimiliki oleh sebagian keluarga dan itupun tidak berada di dekat rumah melainkan agak jauh dari rumah. sehingga menyebabkan untuk mengambil air orang-orang harus berjalan agak jauh. [caption id="attachment_749" align="alignleft" width="300"] Luak Gadang[/caption] Adalah Kampuang Lubuak sebuah kampung di Jorong Nan Tujuah di Kamang. Kampung ini memiliki luak kampung yang bernama Luak Gadang dan Luak Kaciak. Kedua luak ini memiliki kegunaan (fungsi) yang berbeda. Luak Gadang berguna untuk mencuci dan mandi sedangkan Luak Kaciak berguna untuk mengambil air minum