Langsung ke konten utama

Manangkok Sipatuang

[caption id="attachment_1078" align="alignleft" width="300"]Maaf engku dan encik sekalian. Yang ada di kami ialah gambar karirawai. Diambil pada salah satu perak di kampung kita. Maaf engku dan encik sekalian. Yang ada di kami ialah gambar karirawai. Diambil pada salah satu perak di kampung kita.[/caption]

Masihkah engku dan encik ingat dengan jenis permainan ini? Indah bukan, kalau kita berkawan baik dengan alam. Saling memberi dan saling menerima, sungguh sesuatu yang serasi, sepadan, dan kata orang seimbang.

Namun tak pula patut pabila dikatakan ini semacam permainan, walau kenyataannya tatkala melakukan hal ini, kita lakukan dengan penuh kesenangan, kegembiraan, dan rasa tertantang. Yang melakukan ialah lelaki dan perempuan. Melatih kesabaran, ketangkasan, dan keberanian sebab tidak semua anak sanggup melakukannya. Bahkan ada yang takut dan tidak berani hanya untuk sekadar menyentuh sipatuang. Berkat permainan ini pulalah kita faham bagaimana caranya memegang sipatuang itu.

Di kampung kita pada masa itu ada musimnya. Tidak setiap saat sipatuang berterbangan di kampung kita melainkan pada masa-masa tertentu. Kalau kami tak salah pada masa padi sedang manjadi. Mereka mulai sibuk berterbangan hilir-mudik, kesana-kemari ialah pada waktu petang hari menjelang magrib. Sungguh sangatlah semarak kampung kita pada masa itu, belum ada onda dan oto, jalan di kampung kita masihlah milik kita. Berlari-lari diantara rerumputan di tepi jalan, pergi ke dalam perak, di hadapan rumah orang, hingga pergi ke pesawangan sawah.

Terkenangkah oleh engku dan encik sekalian, ketika kita sedang sibuk berlari-lari mengejar sipatuang hingga ke tepi sawah. Di pesawangan terlihat hamparan warna merah jingga di langit nan luas. Sisa-sisa kehadiran matahari sehari tadi masihlah terlihat. Sipatuang berterbangan di sisi tubuh kita dan kawan-kawan. Mata kita memandang kagum pada lukisan alam tersebut. Dan kemudian terdengar suara merdu dari perempuan yang sangat kita kenal “Buuyuuuaaang… pulang capek..! Lah ka mugarik ari diang ko..!” Kata perempuan tersebut sambil membawa lidi. Hehehe…

Dalam kegiatan petang hari ini yakni menangkap sipatuang, kita menggunakan panggado[1] yang biasanya terbuat dari batuang.[2] Pada bagian ujung kita kebatkan[3] plastik seukuran seperempat atau bisa lebih kecil. Terkadang digunakan pula plastik bekas makanan ringan. Yang penting ialah plastik tersebut transparan.

[caption id="attachment_1080" align="alignright" width="300"]Sipatuang gambar: http://www.naturephoto-cz.com/club-tailed-dragonfly-photo-14143.html Sipatuang
gambar: http://www.naturephoto-cz.com/club-tailed-dragonfly-photo-14143.html[/caption]

Dalam menjalan misi, kita harus hati-hati. Berjalan mengendap-ngendap, tanpa suara, kalau tidak maka sipatuang akan cepat terbang lari. Mereka biasanya hinggap di pucuk-pucuk tanaman, apakah itu bunga atau tanaman lainnya.

Setelah mereka tertangkap maka mereka kita pegang dengan sangat hati-hati. Kenapa demikian engku dan encik sekalian?

Karena tubuh kecil mereka sangat rapuh, kalau terlalu kuat takutnya mereka akan tersakiti. Bahkan tidak jarang ada yang sayapnya sampai lepas. Kalau sudah demikian maka tak ada daya upaya lagi. Cara memegangnya ialah, kedua sayapnya kita kepakkan ke atas, kemudian pangkal sayapnyalah yang kita pegang kuat-kuat. Biasanya hanya dengan menjepitkan ibu jari dengan telunjuk.

Bagi beberapa orang kawan-kawan, mereka menjadikan sipatuang tangkapan mereka sebagai aduan. Hal ini dilarang karena sama dengan menyiksa binatang. Kita telah diperingati sebelumnya oleh para orang tua bahwa binatang tidak boleh disakiti. Selepas kita tangkap dan puas bermain dengan sipatuang ini maka kita harus melepaskan mereka kembali.

Begitulah engku dan encik sekalian, bagaimanakah kiranya keadaan sekarang? Masihkah ada kanak-kanak bermain dan menangkap sipatuang di kampung kita?







[1] Gada, kayu kira-kira sepanjang ± 60cm




[2] Bambu




[3] ikatkan


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Katam Kaji

[caption id="attachment_779" align="alignright" width="300"] Salah satu gambar yang kami dapat dari kampung[/caption] Terdengar oleh kami telah tiba pula musim Katam Kaji [1] di kampung kita. Pada hari Ahad yang dahulu (22 Juni 2013) kami dengar kalau orang di Surau Tapi yang ba arak-arak. [2] Kemudian pada hari Kamis yang lalu (27 Juni 2013) tiba pula giliran orang Joho dan sekarang hari Ahad (30 Juni 2013) merupakan tipak [3] orang Koto Panjang yang berarak-arak. Memanglah pada pekan-pekan ini merupakan pekan libur sekolah bagi anak-anak sekolah. Telah menerima rapor mereka. Memanglah serupa itu dari dahulu bahwa Katam Kaji dilaksanakan oleh orang kampung kita disaat libur sekolah. Namun ada juga yang berlainan, seperti orang Dalam Koto yang akan melaksanakan selepas Hari rayo Gadang [4] dan Orang Taluak yang kabarnya akan mengadakan selepas Hari Raya Haji . [5] Kami tak pula begitu jelas pertimbangan dari kedua kampung tersebut. Mungkin engku dan

29. Tata Upacara Adat Minangkabau: Upacara Batagak Pangulu

UPACARA BATAGAK PANGULU Salah satu upacara atau alek ( ceremony ) adat Minangkabau yang paling sakral yang mendapatkan perhatian dan perlakukan khsus adalah Batagak Pangulu atau ada juga yang menyebutnya Batagak Gala .  Upacara ini merupakan peristiwa pentasbihan dan pengambilan atau pengucapan sumpah serta janji seorang Pangulu pada saat ia diangkat dan dinobatkan sebagai pemimpin kaum yang bergelar Datuak. Upacara adat ini sesuai dengan ajaran Islam sebagaimana firman Allah mengingatkan: Sesungguhnyan orang-orang yang menukar janji ( nya dengan Allah ) dan sumpah-sumpah mereka dengan harga yang sedikit maka mereka itu tidak mendapat bahagian dari ( pahala ) di akhirat, dan Allah tidak akan berkata-kata dengan mereka dan tidak akan melihat kepada mereka pada hari kahirat dan tidak ( pula ) akan menyucikan mereka. Bagi mereka adalah azab yang pedih (QS:3:77). Pada bagian lain Allah juga mengingatkan: “ Dan janganlah kamu mengikuti orang yang selalu bersumpah, lagi yang hina ” (QS 6

Luak Gadang & Luak Kaciak

Luak , begitu sebagian orang Minang menyebutnya. Atau orang sekarang lebih mengenalnya dengan sebutan sumua atau sumur. Luak adalah sumber untuk mengambil air bagi sekalian orang, sebelum dikenalnya sistim penyaluran air oleh PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) sekarang. Pada masa sekarang, hampir sekalian rumah di Kamang memiliki luak namun tidak demikian pada masa dahulu. Dahulu luak hanya dimiliki oleh sebagian keluarga dan itupun tidak berada di dekat rumah melainkan agak jauh dari rumah. sehingga menyebabkan untuk mengambil air orang-orang harus berjalan agak jauh. [caption id="attachment_749" align="alignleft" width="300"] Luak Gadang[/caption] Adalah Kampuang Lubuak sebuah kampung di Jorong Nan Tujuah di Kamang. Kampung ini memiliki luak kampung yang bernama Luak Gadang dan Luak Kaciak. Kedua luak ini memiliki kegunaan (fungsi) yang berbeda. Luak Gadang berguna untuk mencuci dan mandi sedangkan Luak Kaciak berguna untuk mengambil air minum