Langsung ke konten utama

Kamang Dalam Lintasan Sejarah Perjuangan_1

Tulisan ini merupakan bagian pertama dari Buku: Kamang Dalam Lintasan Sejarah Perjuangan  nan dibuat oleh orang kampung kita sekitar 20 tahun nan silam (1995). Kalau kami tiada salah almarhum Engku Haji Nasrullah bersama Engku Haji Adnan gelar St. Samiak ikut dalam tim pembuat buku ini. Mohon engku, rangkayo, serta encik sekalian nan mengetahui perihal buku ini membantu kami. Postingan ini kami bagi kepada beberapa bagian, semoga menambah pengetahuan kita semua perihal kampung nan teramat dicintai ini..


___________


jalan ka lubuakPenulisan sejarah ini dimaksudkan untuk memunculkan kepermukaan bahwa daerah Kamang tidak ketinggalan dalam memperjuangkan kemerdekaan RI bersama-sama dengan daerah lainnya.


Kamang sebagai daerah kecil dari wilayah Negara Republik Indonesia merasa perlu mengungkapkan peranannya berupa peristiwa- peristiwa bersejarah perjuangan yang terjadi di nagari ini sebagai ungkapan rasa syukur dalam memperingati Tahun Emas 50 Tahun Indonesia Merdeka. [1]


Harapan kami generasi penerus berkewajiban untuk melestarikan nilai-nilai luhur perjuangan yang telah dilakukan oleh ninik-ninik kita dan menvisualisasikannya dalam bentuk Pembangunan makam, tugu/monumen dan sebagainya, guna diwariskan kepada generasi yang akan datang.


Untuk memberikan arti yang lebih dalam, terhadap nilai-nilai perjuangan tersebut, ada baiknya kita membuka kembali lembaran sejarah lama yang mungkin sebagian kita telah melupakan atau bahkan tidak kenal sama sekali.


Sesuai dengan peredaran waktu, maka lembaran sejarah ini dibagi dalam 2 priode, yakni; Kamang Sebelum Proklamasi, dan Kamang Setelah Proklamasi.




  1. KAMANG SEBELUM PROKLAMASI.


Kamang adalah nama suatu daerah yang letak geografisnya membujur sepanjang Bukit Barisan, di bagian Timur Laut Kabupaten Agam sekarang. Daerah ini dialiri oleh Batang Agam yang sebelum memasuki daerah Kamang disebut Batang Tambuo dan bermuara ke Batang Kuantan Riau.


Tatanan adatnya dengan sistem Kelarasan Koto Piliang yang kepemimpinannya berjenjang naik bertanggo turun, telah menjadikan masyarakat yang dinamis dan mempunyai mobilitas tinggi (Mudah digerakkan[2]).


Hal ini akan jelas terlihat pada peristiwa tahun 1908 dengan kepemimpinan Tali Tigo Sapilin, Angku Lareh, A. Wahid Kari Mudo dan M. Saleh Dt. Rajo Pangulu yang oleh Bapak DR. Roeslan Abdulgani dinyatakan sebagai Pemberontakan Tuangku Lareh Kamang[3].


Setelah Belanda menguasai Padang Darat[4], maka di Kamang diangkat seorang Kepala Pemerintahan dengan pangkat Laras (Lareh), berkedudukan di Jalan Basimpang Jorong Pintu Koto.


Nama Nagari Kamang mulai dicatat sejarah setelah terjadinya gerakan pemurnian agama di Minangkabau. Gerakan ini dipelopori oleh Tuanku Nan Tuo dari Cangkiang Ampek Angkek dan mengambil bentuk yang lebih tegas menjadi Gerakan Padri setelah Tuanku Nan Renceh di Kamang, murid Tuanku Nan Tuo di Cangking mendapat kawan sepaham yakni, H. Miskin, H. Sumanik dan H. Piobang yang baru kembali dari Mekah tahun 1803. Tuanku Nan Renceh berhasil membentuk Kelompok Harimau Nan Salapan, suatu kelompok militan yang ingin memurnikan ajaran Islam dari kebiasaan-kebiasaan jahiliah secara radikal. Perjuangan Tuanku Nan Renceh yang pada mulanya merupakan pemurnian Agama akhirnya berobah menjadi Perang Semesta Rakyat Minangkabau menentang Kolonialisme Belanda.[5]


Dalam perjalanan sejarah selanjutnya Kamang adalah benteng kuat dan terakhir yang harus direbut Belanda sebelum menyerang Bonjol. Benteng Kamang dipagari dengan aur duri dan parit-parit yang sebahagian dari bekas-bekas masih dapat dilihat sejak dari Bukit Baka di Tenggara sampai ke Koto Panjang di Barat Laut. Sebagian dari parit – parit itu sudah dirobah penduduk menjadi kolam ikan atau sawah. Di Pintu Koto di belakang gedung SMU N 1 Kamang Magek sekarang parit-parit tersebut ditimbun dan di jadikan tanah lapang.


Setelah Kamang dapat diduduki, Belanda menghancurkan aur duri itu dengan siasat licik. Menurut cerita dari orang tua-tua; ke dalam rumput aur duri itu diserakkan uang logam. Rakyat yang ingin mendapatkan uang, secara beramai-ramai mulai membabat rumput aur tersebut. Tamatlah riwayat aur duri yang memagari Benteng Kamang. Namun demikian, dibagian Selatan di Bukit Baka sisa-sisanya masih dapat titemukan.


Setelah gagalnya penyerangan tahun 1822 dan 1832 , yang memakan korban dipihak Belanda, maka Belanda menyiapkan pasukan yang diperbuat dengan mendatangkan pasukan tambahan dari Jawa, seluruhnya sekitar 3.500 personil.


Untuk merebut Benteng Kamang Belanda masuk dari 4 jurusan :




  1. Dari Fort de Kock (Bukittinggi) melalui Koriri ( Kuririak-Tilatang ) dipimpin oleh Mayor Elout.



  1. Dari Fort de Kock (Bukittinggi) melalui Baso dipimpin oleh mayor Du Bus.



  1. Sebuah Pasukan kecil yang ditugaskan untuk memancing perhatian Pihak Padri datang dari Magek dibawah pimpinan Van Der Tak..



  1. Dari Suliki melalui Bukit Barisan untuk menikam dari belakang dipimpin oleh Mayor De Quay.


Benteng Kamang dipertahankan oleh pasukan yang bermarkas di Mesjid Taluak di pinggir Batang Agam (Jorong Limo Kampuang) dipimpin oleh Tuanku Bajangguk Hitam.[6]


Serangan hari pertama gagal, karena pasukan dari Suliki terlambat datang. Barulah pada hari ke-dua Benteng Kamang dapat dimasuki Belanda. Maka terjadilah “ Perang Basosoh “ di sebuah lapangan tidak jauh dari Taluak. Di sinilah bergelimpangan mayat dari kedua belah pihak, sehingga untuk beberapa lama daerah tersebut masih berbau busuk (anyia). Daerah ini kemudian dikenal dengan nama Pasia Anyia.


Dalam pertempuran 2 hari itu, Tuanku Bajangguk Hitam tewas, Mesjid Taluak dibakar. Sisa-sisa pasukan mundur dan selanjutnya bergabung dengan pasukan lain dalam mempertahankan Bonjol. Di pihak Belanda 100 orang tewas diantaranya 3 orang perwira, termasuk Mayor Du Bus. Peristiwa ini terjadi tanggal 9 dan 10 Juli 1833[7].


Tanggal 25 Oktober 1833, Van Sevenhoven dan Jendral Mayor Riesz, Penguasa Belanda di Padang mengumumkan Janji Pemerintah Belanda terhadap rakyat Sumatera Barat atas nama Komisaris Jenderal Van Den Bosh. Janji Pemerintah Belanda yang kemudian lebih dikenal dengan nama PLAKAT PANJANG antara lain berisi jaminan kepada rakyat Sumatera Barat bahwa :




  1. Tidak akan terjadi lagi Perang antara Belanda dengan rakyat Sumatera Barat. Segala perselisihan akan diselesaikan secara damai.



  1. Belanda mengakui kekuasaan Pemerintah Nagari dan tidak lagi akan ikut campur tangan dalam pemerintahan di Nagari.



  1. Sebahagian dari penguasa di Nagari akan dijadikan wakil Belanda dan diberikan gaji.



  1. Pemerintah tidak akan mengadakan pungutan-pungutan berupa pajak, hanya kepada rakyat dianjurkan supaya menanam kopi.



  1. Supaya dijalin kerja sama antara Belanda dengan Rakyat Sumatera Barat dan kedua belah pihak diharapkan supaya saling membantu dalam menghadapi musuh masing-masing.[8]


Plakat Panjang memang suatu pernyataan yang melegakan hati bagi rakyat Sumatera Barat termasuk masyarakat Kamang sendiri.


Dimulailah kembali membangun nagari, apa yang telah dicapai selama ini berupa pembinaan agama, bebas dari unsur Hindu dan Tharikat serta adat yang bertentangan dengan syarak dipelihara terus. Masjid Taluak dibangun kembali. Jalan telah dirintis oleh Tuanku Nan Renceh beserta Harimau Nan Salapannya diteruskan oleh pengikut-pengikut beliau yang masih tinggal.


Tersebutlah seorang pengikut Tuanku Nan Renceh yang dikenal dengan gelar Inyiak Pasia diperkirakan lahir sebelum tahun 1820.[9] Melihat watak keturunan beliau kita berkeyakinan bahwa beliau ini seorang yang cerdas dan berkemauan keras. Beliaulah barangkali yang menyerahkan tongkat estafet yang beliau terina dari Tuanku Nan Renceh kepada Haji. Moh Siddik beserta abangnya Angku Gadang, kedua-duanya anak beliau sendiri dan Inyiak Kuruih cucu beliau. Dimasa Haji Moh. Siddik tahun 1860-an dibangun masjid kedua di Kamang bertempat di Rumah Tinggi disebut Masjid Jamik Rumah Tinggi.


Kecurigaan Belanda pun timbul pula terhadap Haji Moh. Siddik, sehingga beliau terpaksa menyingkir ke Kuntu Propinsi Riau. Dari sini beliau pergi ke Mekah (untuk kesekian kalinya) dan meninggal di sana tahun 1886. Bersama beliau ikut istri dan anak beliau M. Jamik.


Patah tumbuh hilang berganti, anak beliau A. Wahid kemudian bergelar Kari Mudo siap meneruskan perjuangan. Dan mengenai Kari Mudo ini akan kita lihat perjuangannya kemudian.


Untuk beberapa lama Kamang tentram kembali, namun ketentraman ini bukan berarti bahwa semangat perlawanan telah pudar. Pelanggaran demi pelanggaran yang dilakukan oleh pihak Belanda atas janji-janjinya dalam Plakat Panjang sangat menggelisahkan rakyat. Kegelisahan-kegelisahan ini mencapai puncak sewaktu Belanda memaksa undang-undang blasting (pajak) bulan Maret 1908, pengganti tanam paksa kopi (kultur stelsel).


Disaat Kepala Laras lain masih dalam keadaan ragu antara menolak atau menerima peraturan tersebut, maka Laras Kamang Garang Datuk Palindih dalam rapat Angku-angku Laras dengan Westernenk tanggal 11 Maret 1908 di Fort de Kock (Bukittinggi) telah memperlihatkan kegarangannya. Dengan tegas beliau menolak peraturan tersebut setelah memperhitungkan segala konsekwensinya.


Oleh karena perundingan dengan Westernenk selalu menemui jalan buntu, maka rakyat Kamang dibawah Pimpinan Garang Dt. Palindih, A. Wahid Kari Mudo, H. Jamik, M. Saleh Dt. Rajo Pangulu beserta tokoh- tokoh masyarakat lainnya mulai mempersiapkan diri untuk menghadapi segala kemungkinan. Sementara itu H. Abdul Manan beserta pengikutnya di Kamang Mudik sekarang telah mengambil sikap yang sama pula.


Keresahan masyarakat ini sampai pada klimaksnya tanggal 15 Juni 1908. Pada hari itu pasukan Belanda dibawah pimpinan Wasternenk Kepala Pemerintahan Belanda di Bukittinggi, berangkat ke Kamang melalui 3 jurusan. Melalui Pauh di Nagari Kamang Mudik, Pulai di Nagari Magek dan melalui Tigo Lurah juga di Nagari Magek. Pertempuran sengitpun terjadi sekitar pukul 3.00 dinihari, di Kampung Tangah antara tentara Belanda dengan rakyat Kamang yang dipimpin oleh M.Saleh Dt. Rajo Pangulu dari Kamang Hilir dan H. Abdul Manan dari Kamang Mudik. Dalam pertempuran ini telah gugur pejuang pejuang yang sebagian dari mereka dimakamkan di Makam Pahlawan di Taluak[10].


Pemimpin yang masih hidup ditangkap Belanda dan sebagian dipenjarakan, ada pula yang dibuang, termasuk A. Wahid Kari Mudo yang menjadi penggerak dari Pemberontakan ini.[11]


Perang Kamang telah membawa malapetaka bagi masyarakat Kamang, dimana rakyat kehilangan pemimpinnya. Sebagian dari mereka telah gugur di medan juang dan yang tinggal telah ditahan, dihukum dan ada juga yang dibuang jauh ke negeri orang, yang lolos dari penangkapan lari meninggalkan kampung.


Tanggal 19 Juli 1908, Angku Lareh Kamang Garang Datuk Palindih bersama dengan 2 orang kemenakannya Datuk Siri Marajo Penghulu Kepala Tangah dan A. Wahid Kari Mudo ditangkap dan ditahan di Bukittinggi.


Tanggal 21 Juli , Kari Mudo dipindahkan ke tangsi (penjara) Padang. Beberapa bulan kemudian menyusul Garang Dt. Palindih dan Dt. Siri Marajo. Mereka ditahan di Penjara Padang selama 10 bulan, untuk selanjutnya dipindahkan ke tangsi Gelodok Betawi (Jakarta sekarang .


Bulan Juni 1910 Datuk Siri Marajo meninggal dalam penjara. Beberapa hari kemudian Garang Datuk Palindih dibebeskan dan di izinkan pulang kampung ke Kamang. Kari Mudo divonis “Pembuangan ke Makasar untuk masa yang tidak ditentukan“.


Kepulangan Garang Datuk Palindih telah memberikan angin segar bagi masyarakat Kamang. Walaupun telah dipecat sebagai Angku Lareh, tetapi kharisma menempatkannya sebagai tokoh yang menentukan bagi perkembangan masyarakat Kamang selanjutnya.


Perang Kamang bukanlah hanya “peristiwa satu malam” saja. Garang Dt. Palindih menyadari Belanda tidak dapat dikalahkan dengan senjata kalewang, pedang, atau jimat (azimat). Ilmu bela diri baik berupa sihir, tharikat ataupun jimat ternyata tidak mempan menghadapi peluru Belanda. Beliau menyadari bahwa disamping Belanda masih ada lagi musuh yang lebih berbahaya yaitu kebodohan. Kebodohan inilah yang telah dimanfaatkan oleh Belanda selama ini .


Sepulang dari Betawi didapatinya Kamang dicekam ketakutan. Pemerintahan dipegang oleh Jaar Dt. Batuah, Angku Lareh Tilatang yang kekuasaannya diperluas sampai ke Kamang, karena sikapnya yang memihak Belanda.[12] Garang Dt. Palindih bekas Kepala Laras Kamang tanpa ragu-ragu terjun ke medan juang baru untuk untuk mencerdaskan anak nagari. Beliau mengadakan kerja sama dengan Syekh Mohamad Jamil Jambek seorang ulama terkemuka dari Bukittinggi. Beliau meminta supaya Inyiak Jambek (demikian beliau dipanggil) mengadakan pengajian di Kamang dengan mengambil tempat di rumah pribadi beliau sendiri di tepi batang Agam di Joho. Inyiak Jambek inilah sosok ulama kaum muda yang telah berhasil memantapkan kembali tauhid orang Kamang, sehingga bebas dari ajaran syirik, sihir, tharikat yang selama ini telah memasyarakat[13].


Jimat tahan tangan, tahan benda tajam dan tahan peluru telah mulai ditinggalkan orang. Pemuda Kamang telah mulai belajar di sekolah-sekolah agama yang terkemuka seperti di Padang Panjang, Parabek ( dekat Bukittinggi ) atau ke Padang Japang di daerah Payakumbuh Utara. Sekolah-sekolah ini menganut faham kaum muda dan lebih dikenal dengan nama Sumatera Thawalib. Pendidikan yang didapat oleh para pemuda ini telah memperluas cakrawala berfikir pemuda Kamang. Disinilah mereka mulai berkenalan dengan Dunia Politik, medan baru dalam perjuangan bangsa.[14]


Peranan Inyik Lareh dalam perjuangan melawan kebodohan mulai menampakkan hasil. Sebelum beliau wafat, beliau telah berhasil menyemaikan kader-kader baru yang akan menerima tongkat estafet perjuangan. Sebagai langkah awal pada tahun 1923 pemuda-pemuda Kamang lulusan Sumatera Thawalib telah berhasil mendirikan Madrasah dengan nama “Diniyah School” ala Diniyah School Zainuddin Labai EL Yunus di Padang Panjang.[15]


Awal abad ke-20 di Hindia Belanda (Indonesia) bermunculan partai politik yang memperjuangkan hak kaum Bumi Putera. Partai-partai tersebut ada yang bersikap lunak terhadap Pemerintahan Kolonial Belanda dan ada pula yang radikal.[16] Bagi partai-partai yang radikal mereka dilarang beraktivitas dan pemimpin mereka ditahan, seperti yang dialami oleh Indische Partij dan Partai Komunis. Walaupun mendapat tekanan dari pemerintah Balanda, pengaruh partai-partai politik ini meluas hingga ke Sumatera Barat.


Di Kamang sendiri Nasionalisme itu telah menampakkan dirinya pada tahun 20-an, melalui pemuda-pemuda Kamang yang telah belajar ke sekolah-sekolah yang ada di Kamang dan Sumatera Barat. Nasionalisme mereka pelajari dengan perantaraan buku-buku bahasa Arab yang berasal dari Timur Tengah serta pergaulan mereka dengan tokoh-tokoh politik di Jawa ketika itu, seperti HOS Cokroaminoto, Sabilal Rasyid, M. Yunan Nasution, Jamaluddin Dt. Singo Mangkuto dan lain-lain. Tidak jarang terjadi reserse-reserse Belanda menggeledah buku-buku dari Timur yang dianggapnya berbahaya ke sekolah-sekolah tersebut.


Sedemikian cemasnya Belanda ketika itu, sehingga banyak pemuda-pemuda yang dijebloskan kedalam penjara. Beberapa orang diantaranya seperti Dt.Bajangguik, Ramaya, Dt.Tuo, Dt.Rajo Pangulu (pengganti Dt. Rajo Pangulu yang meninggal tahun 1908) dan lain-lain meninggal dalam penjara. H. Malik Dt. Sipado dan Jamaluddin di buang ke Boven Digul, dimana pemimpin nasional lainnya juga banyak yang di buang ke sana.[17]


Semangat perlawanan yang tidak pernah pudar telah menggerakkan lagi pemuda-pemuda Kamang pada tahun 30-an. Pada periode ini telah tampil nama-nama seperti M. Yasin, St.Kenaikan, A. D. Dt.Rajo Marah, A. Riva’I, Labai Sutan, Makinuddin Angku Mudu, M. K. St.Batuah, Nursana Joho, Nursana Ladang Darek, Syarkawi Musa sebagai pelopor pergerakan yang ada saat ini lebih popoler dengan nama Pejuang Perintis Kemerdekaan. Sebagai salah seorang yang telah ditempa oleh H.O.S Cokroaminoto, M. Yasin St. Kenaikan telah berhasil membentuk cabang PSII di Kamang, bersama-sama dengan teman seperjuangan lainnya.


Seringkali rapat politik yang diadakan oleh M. Yasin dibubarkan oleh PID Belanda.[18]Larangan berkumpul dan bersyarikat yang dikeluarkan oleh Belanda menyebabkan mereka dijebloskan dalam penjara. Dan M. Yasin sendiri terpaksa meninggalkan Kamang dan pergi ke Pontianak di Kalimantan dan meninggal disana.


Masa Jepang


Penjajahan Jepang di awali tahun 40-an telah membawa kesengsaraan bagi seluruh bangsa Indonesia, tidak terkecuali bagi masyarakat Kamang sendiri. Namun dibalik kesengsaraan itu, masyarakat Kamang telah ditempa untuk menempuh perjuangan yang lebih hebat, suatu blessing in disguise. Pembentukan Laskar Rakyat (Gyu Gun) yang dibuktikan oleh kepemimpinan Tali Tigo Sapilin (Ninik Mamak, Alim Ulama, Cerdik Pandai ) di Kamang, telah mendorong pemuda untuk ikut ambil bagian dalam usaha mempertahankan Indonesia. Di Nagari Kamang tercatat tidak kurang dari 40 orang pemuda yang bergabung dalam Gyu Gun dan Hei Ho. Pemuda-pemuda inilah yang nantinya tampil dibarisan depan dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia yang baru dibentuk pada masa tahun 194-50 .


____________ bersambung


Catatan Kaki:


[1] Ahmad Husein dkk: Sejarah Perjuangan . II, 43 seganap kekuatan politik kemasyarakatan untuk Sumatera bertempat di Bukit Tinggi, sehingga Bukit Tinggi dinamakan Juga Yogya Kedua yang dapat di artikan ibu kota yang ke dua sesudah Yogyakarta adalah logis dan wajar bila pemerintah Pusat sesudah Presiden Sukarno / Wakil Presiden Hatta beserta pimpinan – pimpinan pemerintah lainnya ditawan Belanda, kelanjutan perjuangan diteruskan dari Bukit Tinggi dan sekitarnya sampai peperangan selesai dan Syafruddin menyerahkan kembali mandatnya kepada Sukarno – Hatta tanggal 13 Juli 1949.


[2] Pada sistem Adat Koto Piliang, berlaku azaz kepemimpinan Bajanjang Naiak, Batanggo Turun, ada yang ditinggikan sarantiang dan didahulukan salangkah, dengan arti setiap keputusan yang datangnya dari mamak dipatuhi dan dilaksanakan oleh anak kemenakan. Dalam pepatah adat digambarkan dengan :


Nan babarih nan bapaek// Nan baukua nan bakabuang// Curiang barih buliah diliek// Cupak panuah , gantang babubuang.


Walau secara historis daerah Koto Piliang adalah Luhak Tanah Data , namun ada beberapa Nagari di Agam Tuo (Agam Timur atau Bukit Tinggi dan Sekitarnya) yang masuk Lareh Koto Piliang itu, diantaranya adalah Nagari Kamang. Hal ini taklah janggal karena Luhak Agam bermakna "Kurang Seragam"


[3] Roeslan Abdulgani, Dr. H. Letusan Watak Anti Iperialisme/Kolonialisme Halaman 15. Persatuan yang kemudian terjalin antara pemimpin-pemimpin rakyat, baik kaum adat, maupun kaum agama, serta para cerdik pandai untuk menulang-punggungi Pemberontakan Tuanku Laras Kamang, menandakan bahwa …..


[4] Padang Darat atau dalam Bahasa Belanda Padangse Bovenlanden merupakan penamaan untuk daerah Darek atau Luhak nan Tigo bagi Belanda.


[5] Syafnir Aboe Nain, Tuanku Imam Bonjol Halaman 141. Harimau Nan Salapan atau Tuanku Nan Salapan adalah tuanku-tuanku yang berada di daerah Agam yang sepaham dengan Tuanku Nan Renceh untuk sama-sama melaksanakan pembaharuan dalam masyarakat. Harimau Nan Salapan lebih banyak dihubungkan dengan tindakan mereka yang militan.


Hamka dalam bukunya Ayahku hal 15. menerangkan; Haji Miskin akhirnya mendapat teman seperjuangan yang setia di sekeliling Agam, yang terutama ialah Tuanku Nan Renceh di Kamang, Tuanku di Kubu Sanang, Tuanku di Ladang Lawas, Tuanku di Padang Luar, Tuanku di Galung, Tuanku Ambalau, Tuanku di Lubuk Aur. Itulah tujuh ulama yang telah berjanji sehidup semati dengan Tuanku Haji Miskin, menjadi berjumlah 8 orang yang lebih dikenal dengan sebutan Harimau Nan Salapan.


[6] Tunku Bajangguk Hitam adalah salah seorang kepercayaan Tuanku Nan Renceh yang diserahi tugas mempertahankan Benteng Kamang, karena Tuangku Nan Renceh telah tewas dalam menghadapi serangan Belanda ke Benteng Kamang pada bulan Juni 1832. selanjutnya lihat Syafnir Aboe Nain, Tuanku Imam Bonjol, hal 77.


[7] Selanjutnya lihat Rusli Amran, Sumatera Barat hingga Plangkat Panjang, hal 561 dan 626.


[8] Selanjutnya lihat Rusli Amran, Sumatera Barat Plangkat Panjang, hal 12.


[9] Inyiak Pasia atau Tuangku Pasia diperkirakan lahir antara 1810-1820. Ini didasarkan kepada kelahiran Haji Abdul Malik, turunan ke-5 dari beliau yang lahir tahun 1900. Karena kegiatan politik tahun 1926 Haji Abdul Malik di asingkan ke Boven Digul. Selisih umur ayah/ibu dengan anak diperkirakan paling kurang 20 tahun.




  1. Abdul Malik – Rapiah – Jamilah – Angku Gadang


     1900                 1880         sebelum 1860 dan 1840


Inyiak Pasia


sebelum 1820


     Jumlah anak ke-4 dari Angku Gadang


[10] Sekali lagi Masjid Taluak menjadi tempat pengkaderan pemuda pejuang. Di sinilah dilatih pemuda – pemuda yang akan berangkat ke medan juang di Kampung Tangah dan kesini pulalah syuhada Kampung Tangah dibawa kembali untuk di makamkan. Tahun 1963 makam ini diresmikan sebagai Makam Pahlawan Pejuang Perang Kamang tahu 1908 oleh Jenderal A. H. Nasution selaku WAMPA BIDANG PERTAHANAN / KEAMANAN.


Karena sudah tua, Masjid Taluak kemudian dibongkar dan sebagai penggantinya didirikan MASJID WUSTHA di Ampang terletak di Jorong Ampek Kampuang pada tahun 1927. Pada masa perjuangan periode 45-50, masjid ini telah dipakai sebagai asrama peserta latihan Opsir Barisan Sabilillah pada tahun 1947.


Tahun 1948 Pengurus Masjid ini atas nama masyarakat Kamang menyerahkan sebuah mesin pembangkit listrik untuk kepentingan perjuangan kepada Bapak Letkol Dahlan Jambek, selaku Komandan Komando Pertempuran Agam (KPA) Mesin listrik ini berasal dari Wakaf keluarga Almrhum Haji Ajisah Hasan, seorang anggota jama’ah yang baru pulang dari Singapura. Tahun 1972 Masjid tua dengan 4 lantai dibongkar dan digantikan dengan masjid baru yang terbuat dari batu.


[11] Dengan tidak mengurangi penghargaan kita kepada tokoh-tokoh Perang Kamang yang telah diterima masyarakat sebagai pemimpin perang seperti H. A. Manan, Dt. Rajo Pangulu dan pejuang perempuan Siti Asiah, kita ingin pula menampilkan nama A. Wahid Kari Mudo seorang pemimpin kharismatik sebagai Penggerak Perang Kamang . Hal ini didasarkan kepada kenyataan berikut :




  1. Peranan Kari Mudo membimbing masyarakat sejak di umumkan peraturan pajak bulan Maret 1908 sampai bulan Juni menjelang meletusnya perang. Hal ini di gambarkan dengan jelas Rusli Amran, Sumatera Barat Perang Pajak, hal 137 – 140.

  2. Kari Mudo merupakan seorang yang cerdas dan terpelajar di zamannya, seorang idealis, mempunyai pandangan yang luas, dan juga seorang pemimpin yang berpengaruh, baik di tengah-tengah masyarakat Kamang ataupun di Makasar, dimana beliau dibuang.

  3. Kari mudo adalah seorang pejuang yang konsisten, di kampung halamannya sendiri di Kamang, di tanah pembuangan di Makasar, dan di arena yang lebih luas di Jakarta. Beliau akrab dengan pemimpin pergerakan Nasional seperti H. Agus Salim dan M. Nasir. Berbeda dengan pejuang perang Kamang lainnya yang setelah bebas, mereka pulang ke Kamang dan menyerah pada nasib, maka Kari Mudo setelah bebas dalam usia senja ( 62 tahun ), masih mempunyai semangat baja untuk terjun ke arena yang lebih luas di Jakarta.


[12] Karena sikapnya itu, disamping daerah kekuasaannya di perluas, Jaar Dt. Batuah mendapat lagi hadiah f 1.000,- (seribu Gulden) den sebuah bintang mas besar dari pemerintah Belanda. Tidak lama kemudian beliau diangkat lagi menjadi Demang mengepalai daerah yang lebih luas lagi yaitu Distrik Tilatang, Ampek Angkek. Selanjutnya lihat rusli Amran, Sumatera Barat Perang Pajak, halaman 130.


[13] Syeh Mohd Jamil Jambek adalah ulama, tokoh pembaharuan di Minangkabau. Beliau mendapat pendidikan selama 10 tahun di Masjidil Haram di Mekah. Sekembali dari Mekah beliau mengadakan pembaharuan/pemurnian ajaran Islam di Minagkabau bersama-sama dengan Syekh Ibrahim Musa, Syekh Abbas Abdullah dan Syekh Mustafa Abdullah dan H. M. Thaib Umar. Beliau-beliau ini dikenal dengan nama sebutan Kaum Muda, untuk membedakan dengan ulama lain yang disebut Kaum Tua. usaha pembaharuan yang telah dirintis oleh Tuanku Nan Renceh, di Nagari Kamang telah dilanjutnya secara berkesinambungan oleh Inyiak Pasia, Syekh Mohamad Sidik, Syekh Abu Bakar, Tuanku Abdul Salam, Tuanku Talawi, Tuanku Syekh Koto Kaciak, Labai Sampono dan Inyiak Syekh Mohammad Jamil Jambek serta Ulama-ulama lainnya, sehingga bebas dari pengaruh Kaum Tua, tharikat dan suluak. Kamang merupakan satu-satunya nagari di Agam Tuo yang tidak terdapat Partai Islam Perti dan PPTI serta organisasi di bawah naungannya, dua partai di Minangkabau yang menyalurkan aspirasi politik Kaum Tua di zaman Orde Lama.


[14] Sementara Thawalib pada mulanya adalah nama organisasi siswa/siswi Kaum Muda yang dicetuskan perta kali tahun 1918 di Padang Panjang. Langkah murid-murid sekolah Padang Panjang ini kemudian di ikuti pula oleh murid-murid Kaum Muda lainnya seperti di Parabek, Sungayang, Batusangkar dan Padang Japang. Para santri berasal dari Sumatera, dari Aceh sampai ke Lampung bahkan ada juga yang dari Malaysia. Tidak mengherankan apa bila pengaruh Kaum Muda di Minangkabau bergema di seluruh Sumatera dan Malaysia. Akhirnya nama Sumatera Thawalib di indetikkan dengan nama sekolah tempat santri-santri itu menimba ilmu. Selanjutnya lihat Hamka, Ayahku, hal 118 – 119.


[15] Diniyah School Kamang di dirikan tahu 1923 oleh masyarakat Kamang dibawah pimpinan Kepala Nagari Datuk Nan Lawah. Guru-guru terdiri dari putera-putera Kamang sendiri, seperti Labai Ismail, Kasasi Labai Mudo, H. Abdul Malik, H.Mahmud, H. Bustamam Umar dan guru Rasad adik Zainuddin Labai El Yunus dari Padang Panjang. Untuk ruang belajar, sementara dipakai ruang sidang di lantai dua Kantor Kepala Nagari Kamang. Tahun 1925 sekolah ini telah memiliki gedung sendiri, pada tahun 1926, sekolah ini di tutup atas perintah Damang Datuk Batuah, karena kebanyakan guru-gurunya terlibat dalam kegiatan politik.


Dua tahun kemudian 1928, sekolah ini dapat dibuka kembali oleh H. Bustamam Umar dan dapat bertahan sampai tahun 1967 sebagai sekolah swasta. Pada tahun 1967, Diniyah School yang telah sekian kali beganti nama itu dijadikan sekolah negeri dengan nama PGA (Pendidikan Guru Agama) Negeri 4 tahun Kamang/Kabupaten Agam dan pada tahun 1979, dijadikan Madrasah Tsanawiyan Negeri Kamang/Kabupaten Agam.


[16] Kebangkitan Nasional tahun 1908 telah melahirkan beberapa partai politik di Jawa.


[17] Seperti Muhammad Hatta dan St. Syahrir juga pernah dibuang ke sana sebagai akibat dari aktivitas politik yang mereka jalani.


[18] PID ialah Reserse Belanda yang bertugas memata-matai gerak gerik rakyat yang menentang pemerintah Belanda. Ditingkat nagari mereka yang terdiri dari orang-orang buta huruf yang tidak mengerti sama sekali peranan Wahyuddin Angku Mudo, beliau di tangkap dan di Interogasi atas pengaduan PID. Karena menyebut-nyebut Jaa Zaidun suatu contoh kalimat dalam mengajar Bahasa Arab, dengan tuduhan menghina Jaar Datuk Batuah, Demang Distrik Tilatang Ampat Angkat. Bustami St. Junjungan pernah pula diperiksa oleh mantri Polisi, karena dituduh menyebarkan buku-buku politik. Setelah diperiksa dijumpai hanya buku-buku bacaan terbitan Balai Pustaka. Buku-buku tersebut disediakan sebagai bacaan untuk siswa-siswa Sekolah Islam Ekonomi yang dipimpinnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Katam Kaji

[caption id="attachment_779" align="alignright" width="300"] Salah satu gambar yang kami dapat dari kampung[/caption] Terdengar oleh kami telah tiba pula musim Katam Kaji [1] di kampung kita. Pada hari Ahad yang dahulu (22 Juni 2013) kami dengar kalau orang di Surau Tapi yang ba arak-arak. [2] Kemudian pada hari Kamis yang lalu (27 Juni 2013) tiba pula giliran orang Joho dan sekarang hari Ahad (30 Juni 2013) merupakan tipak [3] orang Koto Panjang yang berarak-arak. Memanglah pada pekan-pekan ini merupakan pekan libur sekolah bagi anak-anak sekolah. Telah menerima rapor mereka. Memanglah serupa itu dari dahulu bahwa Katam Kaji dilaksanakan oleh orang kampung kita disaat libur sekolah. Namun ada juga yang berlainan, seperti orang Dalam Koto yang akan melaksanakan selepas Hari rayo Gadang [4] dan Orang Taluak yang kabarnya akan mengadakan selepas Hari Raya Haji . [5] Kami tak pula begitu jelas pertimbangan dari kedua kampung tersebut. Mungkin engku dan

29. Tata Upacara Adat Minangkabau: Upacara Batagak Pangulu

UPACARA BATAGAK PANGULU Salah satu upacara atau alek ( ceremony ) adat Minangkabau yang paling sakral yang mendapatkan perhatian dan perlakukan khsus adalah Batagak Pangulu atau ada juga yang menyebutnya Batagak Gala .  Upacara ini merupakan peristiwa pentasbihan dan pengambilan atau pengucapan sumpah serta janji seorang Pangulu pada saat ia diangkat dan dinobatkan sebagai pemimpin kaum yang bergelar Datuak. Upacara adat ini sesuai dengan ajaran Islam sebagaimana firman Allah mengingatkan: Sesungguhnyan orang-orang yang menukar janji ( nya dengan Allah ) dan sumpah-sumpah mereka dengan harga yang sedikit maka mereka itu tidak mendapat bahagian dari ( pahala ) di akhirat, dan Allah tidak akan berkata-kata dengan mereka dan tidak akan melihat kepada mereka pada hari kahirat dan tidak ( pula ) akan menyucikan mereka. Bagi mereka adalah azab yang pedih (QS:3:77). Pada bagian lain Allah juga mengingatkan: “ Dan janganlah kamu mengikuti orang yang selalu bersumpah, lagi yang hina ” (QS 6

Luak Gadang & Luak Kaciak

Luak , begitu sebagian orang Minang menyebutnya. Atau orang sekarang lebih mengenalnya dengan sebutan sumua atau sumur. Luak adalah sumber untuk mengambil air bagi sekalian orang, sebelum dikenalnya sistim penyaluran air oleh PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) sekarang. Pada masa sekarang, hampir sekalian rumah di Kamang memiliki luak namun tidak demikian pada masa dahulu. Dahulu luak hanya dimiliki oleh sebagian keluarga dan itupun tidak berada di dekat rumah melainkan agak jauh dari rumah. sehingga menyebabkan untuk mengambil air orang-orang harus berjalan agak jauh. [caption id="attachment_749" align="alignleft" width="300"] Luak Gadang[/caption] Adalah Kampuang Lubuak sebuah kampung di Jorong Nan Tujuah di Kamang. Kampung ini memiliki luak kampung yang bernama Luak Gadang dan Luak Kaciak. Kedua luak ini memiliki kegunaan (fungsi) yang berbeda. Luak Gadang berguna untuk mencuci dan mandi sedangkan Luak Kaciak berguna untuk mengambil air minum