Pendahuluan
Hingga kini masih banyak diantara orang Minangkabau yang tidak tahu mengenai “Perang Kamang 1908”. Hal wajar karena materi mengenai Perang Kamang tidak pernah masuk kedalam kurikulum pelajaran di sekolah bagi anak-anak. Baik itu untuk mata pelajaran sejarah, apakah Sejarah Nasioanal, Sejarah Lokal, ataupun Muatan Lokal. Sama nasib sejarah “Perang Kamang 1908” dengan Rohana Kudus, Rasuna Said, Rahma El Yunusiah, Batalion Harimau Kuranji, dan lain sebagainya.
Perang Kamang 1908 sendiri masih meninggalkan polemik yang tak berkesudahan. Terdapat dua nagari[1] yang sama-sama memakain nama “Kamang”[2] yang memiliki versi sejarah yang berlainan mengenai Tarikh Perang Kamang. Sehingga hal ini menghambat untuk memperkenalkan Sejarah Perang Kamang 1908 itu sendiri.
Sejarah Perang Kamang juga tenggelam dalam kebesaran nama Perang Manggopoh yang terjadi sehari selepas Perang Kamang. Walau tidak sebesar dan separah Perang Kamang, namun Perang Manggopoh lebih sering disebut-sebut orang dalam membahas Pemberontakan Pajak. Salah satu faktornya ialah karena Perang Manggopoh dipimpin oleh seorang perempuan.
Hingga kini Perang Kamang masih dikenang oleh sebagian besar rakyat Kamang. Perang besar tersebut telah menjadi satu kebanggaan tersendiri bagi rakyat Kamang. Sehingga setiap tanggal 15 Juni setiap tahunnyan selalu diperingati dengan upacara bendera dan mengadakan berbagai kegiatan lainnya. Seperti perlombaan atau seperti yang dilakukan beberapa tahun silam yakni memecahkan rekor di Museum Rekor Indonesia (MURI).
Namun suatu yang patut disayangkan dalam hal ini ialah pewarisan ide ataupun sekedar kisah mengenai Perang Kamang itu sendiri sangatlah jarang pada generasi muda. Sangatlah susah mencari orang yang benar-benar faham mengenai jalannya peristiwa pada Pemberontakan Tahun Salapan[3] tersebut. Inti dari Perang Kamang sesungguhnya bukanlah mengusir penjajahan melainkan usaha untuk menjaga marwah[4] orang Minangkabau. Hal ini karena saat itu Minangkabau sedang menghadapi pelecehan dari Belanda. Watak dan budaya orang Minangkabau pada masa itu sama sekali tidak cocok untuk segala jenis pajak yang dikenakan oleh Belanda. Mereka sama sekali tidak merasa hidup menumpang atau atas belas kasihan orang atau bangsa lain. Mereka hidup di tanah mereka sendiri, tanah pusaka yang telah diwarisi turun temurun.[5]
[caption id="" align="alignright" width="178"] Sumber Gambar: Disini[/caption]
Polemik Seputar Perang Kamang 1908
Beberapa orang ahli memanglah telah menulis mengenai Perang Kamang. Namun tulisan tersebut masih memiliki tendensius kepada fihak-fihak tertentu. Seperti Rusli Amran dalam bukunya Pemberintakan Pajak 1908. Pada buku tersebut memang Rusli Amran menggunakan data-data utama dari arsip-arsip Belanda yang berhasil dibacanya. Namun arsip tersebut tidak dengan begitu tegas menyebutkan perihal pemimpin dan pusat dari gerakan pembangkangan itu sendiri. Rusli Amran menggunakan kata-kata “..perang Kamang berpusat di Kamang Mudiak sedangkan orang-orang di Kamang Hilir hanya membantu saja. Karena rasa persaudaraan melihat saudara mereka di Kamang Mudiak diperangi oleh Belanda..”[6]
Penjelasan Rusli Amran tersebut didapatnya setelah melakukan wawancara dengan para tokoh-tokoh dari Nagari Babukik (Kamang Mudiak). Terutama dalam hal ini ialah tokoh-tokoh dari keturunan Haji Abdul Manan yang digadang-gadangkan sebagai pemimpin perang oleh orang Kamang di Nagari Babukik. Berlainan halnya dengan cerita Perang Kamang versi orang Kamang (Hilir). Kepemimpinan Haji Abdul Manan masih diakui sebagai salah seorang pemimpin dalam pergerakan, namun selain sosok Sang Haji terdapat satu orang penghulu yang telah ditasbihkan[7] untuk menjadi Panglima Perang.[8] Merekapun telah membuat sebuah buku yang berjudul “Kamang dalam Pertumbuhan dan Perjuangan Menentang Kolonialis”.
Munculnya beberapa orang peneliti yang meneliti mengenai Perang Kamang atau berbagai tulisan yang dibuat perihal Perang Kamang itu sendiri telah menambah polemik yang tak berkesudahan. Sebab masing-masing tulisan memiliki kecondongan tersendiri terhadap salah satu nagari.[9] Belumlah ada atau sangatlah sedikit itikad yang ada untuk menyelesaikan persengketaan perihal Perang Kamang. Apakah itikad tersebut muncul dari anak nagari kedua Kamang, pemerintah daerah, ataupun para peneliti dan ilmuan sejarah .
Perang Kamang pada saat sekarang telah menjadi semacam “Harga Diri” atau lebih tepatnya sebagai alat untuk menunjukkan ego atau keangkuhan. Barang siapa yang berhasil meyakinkan orang banyak perihal pemimpin dan pusat dari perang itu sendiri. Maka berarti nagarinyalah yang akan mendapat laba sebab diakui sebagai Nagari Pahlawan. Sebuah julukan yang akan mendatangkan kebanggaan, kepopuleran, dan harga diri.
Memahami Masa Lalu
Merupakan suatu pantangan dalam Ilmu Sejarah untuk membaca, memahami, dan menilai suatu peristiwa sejarah itu dari sudut pandang (perspektif) masa lalu. Hal ini karena sejarah itu sendiri berbicara mengenai perubahan yang terjadi pada kehidupan manusia. Sedangkan kalau berbicara mengenai perubahan, para ahlipun banyak memperdebatkannya. Namun yang pasti, para ahli telah sepakat bahwa perubahan itu ialah sesuatu yang harus terjadi.
Seperti yang dianalogikan oleh seorang filsuf dari Yunani yang bernama Heraclitus “Aku tidak dapat melangkah dua kali ke dalam sungai yang sama, karena kalau aku melangkah ke dalam sungai itu untuk kedua kalinya, aku atau sungai itu telah berubah”[10]
Sejalan pula dengan falsafah orang Minangkabau "Sakali aia gadang, sakali tapian barubah.."
Para sejarawan juga mengenal apa yang disebut dengan zeitgeist yang berasal dari Bahasa Belanda yang berarti Jiwa Zaman. Maksud dari Jiwa Zaman ialah keadaan kehidupan orang-orang pada masa peristiwa sejarah itu terjadi. Seperti apakah kehidupan perekonomian, politik, sosial, budaya, agama, pola fikir, dan lain sebagainya. Seperti apa nilai-nilai atau norma yang mereka anut dalam menjalani kehidupan pada masa itu. Hal ini akan berpengaruh terhadap sudut pandang atau anggapan mereka terhadap suatu fenomena yang mereka dapati ketika itu. Bagi sejarawan profesional tentulah tidak asing dengan istilah ini.
Adapun mengenai kaitan hal ini dengan Perang Kamang ialah kekurang fahaman orang-orang mengenai peri kehidupan orang-orang zaman dahulu. Seperti apakah keadaan politik, ekonomi, sosial, budaya, dan agama penduduk Kamang pada tahun 1908? Kamang yang dahulu sangat berlainan dengan Kamang yang sekarang. Pandangan (konsep) mereka mengenai pemimpin, penghulu, qadi[11], dubalang (hulubalang), dan lain sebagainya sangatlah berbeda. Bahkan diantara beberapa jabatan kelengkapan suatu nagari pada masa dahulu sudah tidak ada pada kedua Nagari Kamang (dan juga kebanyakan nagari di Minangkabau) pada saat sekarang ini.
Kita juga harus memahami seperti apa pandangan mereka mengenai agama dan adat. Seperti apakah hubungan keduanya? Apakah terpisah? Atau bercampur padu? Seperti apapula bentuk ajaran Agama Islam yang mereka anut dan fahami?[12] Bagaimana faham pemberontakan tersebut dapat muncul di hati masyarakat Kamang? Seperti apa proses pengkaderan? Dan lain sebagainya.
Penulisan Perang Kamang juga sering melupakan kesaksian dari Haji Abdul Malik Karim Amirullah (Hamka) dalam bukunya yang berjudul “Ayahku” beliau menyebutkan:
Ketegangan sebenarnya tidak hanya terjadi di Kamang tetapi juga di nagari-nagari lainnya di Minangkabau seperti Manggopoh, Ulakan, Lubuak Aluang, Batipuah, Duo Baleh Koto, dan lain-lain. Di nagari yang kokoh persatuan antara ninik mamak dan alim ulama maka terjadilah pemberontakan seperti di Kamang. Sedangkan di nagari yang tidak kokoh persatuannya maka banyak diantara rakyatnya yang pergi hijrah meninggalkan kampung menuju Malaya, seperti yang terjadi di Rao. (HAMKA. Ayahku. Widya: Jakarta, 1958. Hal. 61-62)
Mengurai mengenai Sejarah Perang Kamang itu sendiri merupakan suatu pekerjaan yang teramat sulit. Hambatan utama tentunya ialah ketiadaan sumber tertulis dari fihak masyarakat itu sendiri. Walau ada sumber tertulis berupa Syair Perang Kamang yang ditulis oleh Haji Ahmad anak dari Haji Abdul Manan. Namun hal tersebut masih terasa kurang, karena walau bagaimanapun penulisan Sejarah Perang Kamang ini hendaknya merangkul kedua belah fihak. Bukan berarti sejarah yang akan ditulis merupakan suatu bentuk kompromi, melainkan sumber-sumber yang digunakan hendaknya berasal dari kedua nagari yang berkepentingan.
Adapun halnya dengan sumber tertulis yang berasal dari luar masyarakat telah dikumpulkan dengan sangat baik oleh Rusli Amran. Sedangkan rekaman jejak mengenai Perang Kamangpun telah ada berupa tulisan singkat yang didasarkan penuturan dari orang tua-tua dari kedua nagari. Namun sering kali ditemui, satu sumber tertutup bagi fihak lain.
[caption id="" align="alignleft" width="400"] L.C Westenenk Foto diambil ketika menjabat sebagai Residen Bengkulu pada, sekitar tahun 1919. Sumber Gambar: KITLV.NL[/caption]
Perang Kamang 1908
Terdapat dua versi kisah perihal Perang Kamang pada masyarakat Kamang, hingga kini masih belum ditemui benang merah yang menghubungkan kedua kisah ini. Belum dilakukannya penelitian profesional oleh sejarawan profesional merupakan salah satu penyebab kemungkinannya. Ditambah dengan kurangnya sumber tertulis yang membahas Perang Kamang. Sumber dari sudut pandang Kolonial memang tersedia dan telah disampaikan dengan sangat bagus sekali oleh Rusli Amran dalam bukunya Perang Kamang. Namun sumber dari fihak penduduk setempat masih kurang dan timpang.
Kajian mengenai Nagari Kamang sebelum pemberontakanpun masih kabur. Karena terdapat dua nagari yang sama-sama memakai nama Kamang. Apakah kedua nagari ini dahulunya satu ataukah memang nagari yang berbeda. Belum ada penjelasan memuaskan mengenai pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Perang Kamang sendiri dimaknai berbeda oleh penduduk kedua Nagari Kamang. Nagari Babukik mengemukakan Haji Abdul Manan sebagai ujung tombak perjuangan sedangkan Nagari Kamang (Hilir) mengemukakan tiga nama sebagai tulang punggung perlawanan. Ketiga nama itu ialah Dt. Rajo Pangulu sebagai Panglima Perang yang mewakili Niniak Mamak atau golongan adat. Haji Abdul Manan yang mewakili Alim Ulama dan Abdul Wahid Kari Mudo yang mewakili tokoh Cerdik Pandai dan Pemuda.
Dibalik pertentangan yang terjadi, mereka sama-sama sepakat mengenai beberapa hal dalam Perang Kamang ini:
- Perang Kamang ialah perlawanan terhadap kecongkakan Pemerintah Kolonial Belanda. Hal ini karena Belanda hendak menerapkan peraturan pajak atau Bentuk pungutan seperti ini belum pernah dan tidak dikenal dalam kehidupan sosial politik masyarakat Minangkabau sebelumnya. Pungutan seperti ini dimaknai masyarakat sebagai bentuk penghinaan dan pelecehan terhadap harga diri mereka sebagai sebuah bangsa yang bebas. Apalagi pungutan ini diwajibkan oleh pemerintah kafir.
- Perang ini terjadi pada tanggal 15 Juni 1908, memakan banyak korban jiwa terutama dari masyarakat Kamang dan beberapa penduduk di sekitar Nagari Kamang serta penduduk luar yang ikut datang ke Kamang dalam berjihad melawan Si Kafir Belanda.
- Belanda memasuki Kamang dari tiga jurusan yakni; Kelompok Pasukan Pertama masuk dari arah Simpang Gadut menuju Aia Tabik di Kamang Mudiak. Pasukan Kedua masuk dari arah Simpang Limau menuju Pekan Kamis kemudian terus ke Simpang Koto Panjang di Kamang Hilir. Dari Simpang Koto Panjang mereka menuju ke rumah anak Haji Abdul Manan di Kampuang Bodi. Pasukan Ketiga masuk dari Kapau menuju Nagari Magek kemudian ke Pintu Koto di Kamang Hilir.
- Pertempuran besar terjadi di dekat rumah Haji Abdul Manan karena pasukan kedua yang berjumlah besar dan dipimpin langsung oleh Kontreleur Westenek. Pertempuran besar ini terjadi setelah para mujahid asal Kamang (Hilir) datang yang dipimpin oleh Dt. Rajo Pangulu. Sebelumnya, tentara Belanda hanya melakukan razia mencari H. Abdul Manan.
Pada awalnya Westenenk akan memimpin pasukan ketiga namun karena pada saat terakhir didapat informasi dari Lareh Tilatang Jaar Dt. Batuah perihal Haji Abdul Manan. Maka dengan segera Westenenk menukar pusat komando dari pasukan ketiga ke pasukan kedua. Hal ini menimbulkan pertanyaan tersendiri, kenapa Westenenk awalnya memutuskan untuk memimpin rombongan pasukan ketiga yang bertujuan menggempur Kamang Hilir?
Pertanyaan tersebut akan dapat kita jawab apabila kita mencermati berbagai kejadian yang terjadi di Kamang Hilir sebelum terjadinya pertempuran. Kamang (Hilir) merupakan pusat dari Kelarasan Kamang dimana Kepala Larasnya berkedudukan di Kampung Jalan Basimpang di Jorong Pintu Koto Sekarang. Nama larasnya ialah Garang Dt. Palindih dari pesukuan Sikumbang dimana beliau merupakan orang pertama dalam kalangan masyarakat Kamang yang mendapat kabar perihal penetapan pajak ini. Sebab beliau ikut serta dalam rapat antara para Kepala Laras di Agam Tua dengan Komendur Westenenk di Bukittinggi.
Wilayah Kelarasan Kamang tidak hanya mencakup kedua Nagari Kamang sekarang akan tetapi juga Nagari Suayan yang pada saat sekarang berada dalam wilayah Kabupaten Limapuluh Koto. Nagari ini terletak di seberang bukit barisan (apabila kita dari arah Nagari Kamang). Akses jalan menuju nagari ini ialah dengan melintasi hutan rimba bukit barisan. Jalur yang dipakai untuk melintasi hutan menuju Nagari Suayan terdapat pada Jorong Guguak Rang Pisang di Nagari Kamang (Hilir).
Persiapan peperangan seperti peralatan perang disuplai dari Nagari Salo dan Koto Baru. Nagari Salo berbatasan langsung dengan Nagari Kamang (Hilir) sehingga akses terhadap sumber senjata menjadi sangat mudah bagi Nagari Kamang (Hilir). Kemudian latihan perang juga dipusatkan di Kamang (Hilir),[13] tepatnya di Surau Taluak yang merupakan surau tertua di Nagari Kamang. Surau ini terletak di tepi Batang Agam di Kampung Taluak. Dimasa Paderi surau ini juga memainkan peranan yang sama yakni tempat mengaji para pejuang (pengkaderan), tempat berlatih silat, dan kepandaian perang lainnya.
Namun berbagai penjelasan ini belumlah dapat menjawab misteri Perang Kamang sesungguhnya. Peranan masing-masing tokoh masih berdasarkan kepada cerita masing-masing nagari yang cenderung mengkultuskan sosok yang mereka kagumi. Alasannya sederhana yakni karena tokoh tersebut berasal dari kampung mereka. Kultus ini telah mulai beralih kepada sikap fanatik, apakah itu fanatik ketokohan atau fanatik kenagarian.
Penutup
Banyak yang beranggapan bahwa Perang Kamang ialah suatu perang untuk mengusir Penjajahan Belanda. Namun keadaan berlainan akan kita dapati ketika mempelajari sejarah perang ini. Sebab semangat yang timbul dari pemberontakan ini bukanlah semangat untuk mengusir penjajah melainkan semangat untuk mempertahankan marwah (harga diri) sebagai orang Minangkabau dan sebagai orang Islam.
Ingatan mereka perihal Perang Paderi masih terasa karena di Nagari Kamanglah gerakan Paderi tersebut berasal. Benteng Kamang merupakan salah satu benteng tersulit untuk ditaklukan oleh pasukan Belanda pada masa Perang Paderi. Maka taklah mengherankan apabila isi pada perjanjian “Plakat Panjang” begitu dipegang oleh mereka. Karena utang dilunasi, janji ditepati.
Jika kita bawakan kepada kehidupan masa sekarang, maka pemberontakan yang terjadi di Kamang dan gerakan serupa di nagari lainnya di Minangkabau, hal tersebut dapat disamakan dengan tindakan terorisme. Mengganggu keamanan dan ketertiban, dan yang terburuk ialah melawan Undang-undang. Para pejuang ini ialah para fanatik dan radikal yang patut untuk diperangi dan dibunuh. Hal ini karena mereka telah melakukan makar kepada negara.
________________________________________________________________
Daftar Bacaan
St. Majo Indo. Kamang dalam Pertumbuhan dan Perjuangan Menentang Kolonialis.
HAMKA. Ayahku. Widya. Jakarta, 1958
Jostein Gaarder. Dunia Sophie. Mizan. Bandung, 2008
Rusli Amran. Perang Kamang; Bagian 1. Sinar Harapan. Jakarta, 1988
________________
Sumber Internet
http://nagarikamang.wordpress.com/2012/06/02/tarikh-perang-kamang-bagian-1/
http://nagarikamang.wordpress.com/2012/06/12/tarikh-perang-kamang-bagian-2/
______________
Catatan Kaki:
[1] Suatu unit pemerintahan setingkat desa, namun lebih otonom dari pemerintahan desa. Tidak hanya unit pemerintahan yang bersifat politis, melainkan juga sosial, dan budaya.
[2] Kedua nagari tersebut ialah Nagari Kamang Mudiak dan Nagari Kamang Hilia. Dua nagari bertetangga dan sama-sama terletak di Kecamatan Kamang Magek.
[3] Perang Kamang memiliki banyak nama seperti Pemberontakan Pajak, Pemberontakan Belasting, Perang Belasting, dan Perang Tahun Salapan (mengacu kepada tahun 1908).
[4] Harga Diri
[5] Konsep Orang Minangkabau mengenai kepemilikan sangat berbeda dengan suku bangsa lain di Indonesia. Pada beberapa daerah di Indonesia, tanah tersebut ialah milik raja dimana raja memeberikan hak pakai dan hak guna kepada rakyatnya. Kemudian atas kemurahan sang raja tersebut rakyat memiliki kewajiban yakni untuk bekerja selang beberapa hari di istana raja atau kaum bangsawan lainnya. Pekerjaan tersebut tanpa dibayar karena merupakan bentuk balas jasa atau balas budi. Sedangkan di Minangkabau, setiap tanah di Minangkabau ialah milik rakyat, raja tidak memiliki kekuasaan atas seluruh tanah di Minangkabau ini. Maka dikenallah ulayat nagari, ulayat suku, dan ulayat kaum. Tidak dikenal kepemilikan pribadi melainkan setiap harta dimiliki bersama dan digunakan untuk kepentingan bersama. Atau dengan kata lain, Harta Pusaka ialah Asuransi bagi orang Minangkabau.
[6] Kurang lebih begitulah isi kutipan dari penjelasan Rusli Amran dalam bukunya Pemberontakan Pajak 1908.
[7] Diangkat, dinobatkan, dibai’at, dipilih
[8] Penghulu tersebut bernama Datuak Rajo Pangulu, meninggal dalam Perang Kamang
[9] Kamang Hilir atau Kamang Mudiak.
[10] Jostein Gaarder. “Dunia Sophie”. Mizan (Cetakan XIX). Bandung, 2008 (Hlm. 74)
[11] Qadi berasal dari bahasa Arab yang berarti Hakim. Dalam hal ini berarti pemimpin agama tertinggi pada suatu nagari di Minangkabau. Satu nagari dapat saja memiliki lebih dari satu Qadi. Hal ini bergantung dari jumlah masjid yang ada pada satu nagari. Ciri khas yang utama dari seorang Qadi ialah bahwa dia tidak harus berasal dari nagari tempat dia menjadi Qadi. Seorang Qadi dapat saja berasal dari nagari lain. Hal ini karena Hukum Syara’ berbeda dengan Hukum Adat. Adat Salingka Nagari yang berarti bahwa setiap nagari memiliki ragam corak adatnya tersendiri. Sehingga seorang datuk pada suatu nagari tidak dapat diimpor ataupun diekspor pada nagari lainnya. Berbeda dengan Hukum Syara’ yang berlaku dan dipakai secara seragam sehingga tidak menghalangi seorang pemimpin agama untuk berperan di nagari lain.
Dalam lafadz orang Minangkabau Angku (Engku) Qadi sering dipanggil dengan panggilan Angku Kali.
[12] Menurut salah satu sumber dalam Sejarah Perang Kamang menyebutkan bahwa selepas keluar dari Penjara, Garang Dt. Palindih (Kepala Laras Kamang sebelum pemberontakan) meminta kepada Sych. M. Djamil Djambek yang memiliki surau di Kampung Tangah Sawah (Bukittinggi) untuk datang memberikan pengajian ke Kamang. Hal ini karena melihat keadaan mental orang Kamang ketika itu yang tengah merosot. Untuk memfasilitasi hal tersebut, Garang Dt.Palindih meminjamkan salah satu tanah pusaka milik keluarganya untuk didirikan surau oleh Syech.M.Djamil Djambek.
[13] Hal ini bukan berarti bahwa latihan perang hanya dilakukan di Kamang Hilir saja melainkan di Kamang Mudiak juga dilakukan latihan perang dibawah pengawasan Haji Abdul Manan.
mantap...sebagai generasi muda,,kita harus lepas dari ego yg tidak ber ilir,,, kita majukan nagari, kecamatan, tanpa membuat perselisihan seperti pemahaman yg lama,,,
BalasHapusalangkah baiknya apabila hal tersebut dimulai dengan memberi contoh jiwa besar kepada dunsanak kita nan lain.
BalasHapus