Beberapa hari nan silam selepas libur tahun baru, beberapa orang kawan ramai bertanya kepada kami perihal keramaian di Tarusan Kamang. Kami jawab saja tiada tahu karena memang tiada pulang kampung, mesti masuk jua bekerja. Memanglah semenjak beberapa tahun ini, terutama sekali semenjak dipopulerkan oleh salah seorang fotografer asal Nagari Kurai, nama Tarusan Kamang menjadi terkenal. Padahal di kampung ia hanya dipanggil Tarusan saja.
Terkenang-kenang kembali oleh polemik nama kedua nagari ini, terdengar-dengar cerita dari kampung dan pernah pula dipostingkan oleh salah seorang kawan di fesbuk perihal asal mula maka ditambahkan nama “Hilir” pada Kamang. Menurut sebagian sumber menyebutkan pada tahun 1949 tiga orang bersua dan bermufakat. Ketiga orang itu ialah Saidi St. Lembang Alam (Kamang), A. K. Dt. Gunuang Hitam (Surau Koto Samiak), dan Patiah A. Muin Dt. Rangkayo Marajo (Surau Koto Samiak).
Mereka bermufakat di Kampuang Anak Aia nan termasuk kepada Jorong Dalam Koto dan berbatasan dengan Limo Kambiang di Surau Koto Samiak. Mereka sepakat menambahakan kata “Hilir” pada Kamang dan menjadikan Nagari Surau Koto Samiak menjadi Kamang Mudiak.
Sampai kini kami tiada tahu siapa gerangan ketiga engku ini namun dampak dari perbuatan mereka itu terasa hingga kini. Ngalau Durian menjadi Ngalau Kamang, Tarusan menjadi Tarusan Kamang. Dan entah berapa lagi..
Pernah suatu ketika seorang engku memperlihatkan kepada kami sebuah kata Tambo nan ditulis oleh H. Datoek Toeah dari Luhak Limo Puluah Koto. Pada tambo itu terdapat uraian mengenai Luhak Agam, begini uraiannya:
Adapun Luhak Agam memakai adat Koto Piliang dan Bodi Chaniago. Adapun Adat Koto Piliang dahulu pemimpinnya ialah Datuk Bandaro Panjang nan berkedudukan di Biaro. Kedua adat Bodi Chaniago dahulu pemimpinnya Dt. Bandaro Kuniang nan berkedudukan di Tabek Panjang Baso.
Nan masuk adat Dt. Katumangguangan adalah 16 Koto banyaknya, yaitu: Sianok, Koto Gadang, Guguak, Tabek Sarojo, Sarik, Sungai Pua, Batagak Batu Palano, Lambah Panampuang, Biaro Balau Gurah, Kamang, Bukit, Salo, Magek. (H. Datoek Toeah. Tambo Alam Minangkabau. Limbago. Payakumbuh, 1959. Hal. 38-39 pada cetakan nan lain terdapat pada hal.41)
Kitab tambo ini merupakan poto copy jadi agak kurang jelas, kami ragu apakah Kamang dipisahkan dengan Bukit sebab kami dengar pada beberapa sumber Bukit Kamang atau Kamang Bukit sering disatukan penafsirannya yakni Jorong Babukik di Surau Koto Samiak. Namun kalau kita lihat pada pembagian nagari berdasarkan lareh yang dianut maka tidaklah mungkin Babukik atau Bukik termasuk kepada Koto Piliang. Bukankah mereka di Surau Koto Samiak menganut Lareh Bodi Caniago?
Demikian pula pada masa dahulu, kalau orang nan dari Surau Koto Samiak hendak ke kampung kita maka mereka akan menjawab apabila ditanya “Hendak ke Kamang..” cobalah engku tanyakan kepada orang tua-tua di Babukik dan Pauh, siapa tahu mereka belum terkena amnesia.
Hal lain nan membuat heran ialah orang-orang pada masa sekarang sangat tergila-gila dengan Tarusan Kamang sehingga nagari kita dianggap tak ada dalam peta, bahkan ada nan mengatakan kalau nagari kita itu Magek. Duhai hancurnya hati ini mendengarnya. Namun tahukah mereka setiap tahun apabila sudah musim durian dan manggis, kemana dicari orang?
Kemana pula dahulu orang mencari Limau Kamang? Dimana orang membuat Perabot Kamang itu? Serta Kerupuk Kamang dimana pula dibuat oleh orang? Masih banyak lagi kalau engku hendak tahu.
Pernah kami bercerita dengan salah seorang engku dari salah satu nagari di Agam Tuo ini, sudah lima puluh tahunan umurnya “Dahulu nan terkenal di Kamang itu ialah orang membuat perabot semacam kursi dan almari serta meja..”
Kami penasaran “Kalau di Kamang dekat Tarusan itu apa nan terkenal dahulunya engku?” tanya kami.
“O,. mereka itu Tukang Batu, disana ada batu kapur bukan? Mereka ahli membuat rumah dari batu..” jawab si engku.
Adakah engku mengalami hal nan serupa?
[…] Buah. Namun sayangnya mereka selalu salah mengira perihal Kamang, bagi mereka nan Kamang itu ialah Tarusan[2] dan […]
BalasHapus