Orang Minangkabau seperti tadi disebut, ialah ahlu l-bait. Mereka sejak dari turunan Adam sampai Nabi Muhammad Nabi dan Rasul terakhir dan ulama pewaris. Dalam mengatur tertib sosial masyarakatnya sudah punya adat yang mu’tabarah (yang dipakai, kuat) karena dipakai sejak era kenabian (zaman nubuwah). Artinya adat Minangkabau berlangsung sejak awal di bagian tengah Puau Paraco ini telah menganut ajaran tauhid. Faktor ini menyebabkan Islam mudah diterima oleh masyarakat Minangkabau dan mengalami perkembangan yang sangat cepat, walaupun Adat Minangkabau sebelumnya pernah diwarnai oleh praktik-praktik kebudayaan bangsa Mee, Viet, Tamil dan Sanskerta.
Islam pertama kali “masuk” ke Minangkabau dari interkasi dengan pedagang Yaman yang ketika itu sangat menguasai perdagangan jalur thariqa l-bahri (jalur perairan, laut). Bazan[1] (raja Yaman, muslim) yang menguasai jalur perdagangan thariq al-bahri pada tahun 619 M. Semua jalur perdagangan yang dikuasai oleh Yaman, secara resmi penduduknya masuk Islam termasuk Kanton dan Minangkabau. Bazan sempat mendirikan masjid di berbagai wilayah yang dikuasainya termasuk di Kanton (sekarang dikenal sebagai Masjid Huaisheng atau Masjid Mercusar atau Masjid Kwang Tah Se), kecuali di Minangkabau.
Selain Yaman, orang Arab banyak pula yang datang untuk berdagang ke Minangkabau. Pada zaman Khalifah Muawiyah bin Abu Syofyan (periode 661-680 M), sekitar tahun 674 M beberapa keluarga Arab bermukim di kawasan Kerajaan Bukit Batu Patah. Kerajaan Bukit Batu Patah ini adalah kelanjutan dari Kerajaan Pasumayam Koto Batu. Kerajaan Pasumayam ini didirikan Si Maharajo Dirajo dengan permaisuri Puti Indo Jalito, ibu kotanya di Lereng Merapi yang kemudian dikenal dengan Pariangan dan Padang Panjang. Sedangkan Kerajaan Bukit Batu Patah didirikan Sutan Nun Alam punya hubungan kerabat dengan Yang DiPertuan Kerajaan Bungo Setangkai Datuk Bandaro Putiah. Dalam buku “Kesultanan Pagaruyung, Jejak Islam pada Kerajaan-kerajaan di Dharmasraya” Hasil Penelitian Nasional (2016) oleh YY Dt. Rajo Bagindo, dkk, pernah Daulat Yang Dipertuan Raja Alam Pagaruyung SM Taufik Thaib Tuanku Mudo Mangkuto Alam menyebut, orang Arab itu ada yang datang dari Thaif,[2] sampai sekarang menjadi kerabat Pagaruyung dalam hubungan perkawinan. Yang Dipertuan Gadih XVII (Tuan Gadih VII) Puti Reno Raudha Thaib pun mengakui, setiap tahun masih mengirimkan bingkisan dari Thaif sebagai tanda hubungan kerabat dengan keluarga Istana Silinduang Bulan di Pagaruyung.
Orang Arab yang bermukim di kawasan Kerajaan Bukit Batu Patah tadi mengumpulkan barang dagangan berupa hasil bumi langsung dari masyarakat, sehingga mereka setiap saat dapat berinterakasi langsung dengan masyarakat pribumi. Karena akhlak mereka yang baik dan ilmu pengetahuan yang tinggi, banyak masyarakat daerah ini masuk Islam. Melihat ketaatan masyarakat pribumi menganut ajaran Islam, maka orang Arab itu menyebut mereka seperti مؤمنا كنبوي (Mukminankanabawi), artinya orang mukmin seperti orang mukmin pengikut para Nabi. Ungkapan orang Arab itu berubah menjadi Minan ka baw dibaca Minangkabau. Sampai sekarang nagari yang terletak di wilayah kabupaten Tanah Datar tempat orang Arab membeli hasil bumi itu tetap bernama Nagari Minangkabau.
Karena begitu pesatnya penyebaran Islam di wilayah yang sekarang ini bernama Minangkabau, adat yang telah lama dianut masyarakat ini menyatu dengan ajaran Islam. Berbagai tatanan, aturan dan praktek adat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam mulai ditinggalkan, dan tetap mempertahan tatanan, aturan dan praktek adat yang sesuai dengan ajaran Islam. Sehingga pada abad ke-10 M seluruh masyarakat Minangkabau di luhak nan tuo telah menganut agama Islam. Sejak masa itu sampai abad ke-13 berbagai ketentuan adat mengikuti ketentuan Islam; pemerintahan daulat ummah (kedaulatan rakyat, demokrasi), sistem peradilan dan kelembagaan dan tatanan kehidupan bermasyarakat secara umum diatur menurut ajaran Islam. Pada masa itu terjadi perubahan pemikiran terkait sistem pemilihan pimpinan adat (Datuak); kamanakan di bawah dado sampai kamanakan di bawah paruik yang selama ini hanya berhak menjadi Pangulu Andiko, menuntut hak yang sama untuk bisa menjadi Datuak Pucuak seperti kamanakan di bawah daguak.
Perubahan dalam adat lebih baik lagi ketika Islam telah mulai “dikembangkan” dari jalur Kerajaan Minangkabau di Pagaruyung. Kerajaan Minangkabau ini adalah perubahan dari nama Kerajaan Malayapura yang didirikan Adityawarman 1347 M. Kerajaan Malayapura ini merupakan likwidasi dari Kerajaan-kerajaan Melayu Swarnabhumi yang dipindahakan dari Dharmasraya dengan kerajaan-kerajaan lama Kerajaan Bukit Batu Patah, Kerajaan Bunga Setangkai, Kerajaan Dusun Tuo dll, awalnya dipusatkan di Saruaso tempat kediaman ibu Adityawarman Dara Jingga. Meskipun Adityawarman tidak muslim, tetapi di kalangan istana dan sekitarnya, sudah banyak ulama. Pertengahan abad ke-14 (1358) disebut Tambo Sriwijaya dan Tambo Lampung Kesultanan Kepaksian Sekala Brak[3] sudah ada 4 umpu dari Kerajaan Minangkabau yang “menyebarkan” Islam ke Lampung dan mendirikan Kesultan Sekala Brak Lampung. Mereka: (1) Umpu Bejalan Di Way (mendirikan Paksi Buay Bejalan Diway dan wafat di Sukarami Liwa), (2) Umpu Belunguh (mendirikan Paksi Buay Belunguh di Barmasi Belalau), (3) Umpu Nyerupa (Pendiri Paksi Buay Nyerupa di Tapak Siring Sukau) dan (5) Umpu Pernong (Pendiri Buay Pernong di Henibung Batu Brak).
Awal abad ke-15, Kerajaan Minangkabau di Pagaruyung berubah menjadi Kesultanan Minangkabau Darulqarar di Pagaruyung (disingkat Kesultanan Pagaruyung). Kesultanan ini sultan pertamanya ialah Sultan Bakilap Alam Khalifatullah yang dalam pemerintahannya mengambil pedoman “Undang Adat Minangkabau” adalah Sumpah Satia Marapalam 1403. Adat Minangkabau dalam amanat Sumpah Satia itu disandi dengan syara’ (Islam), sehingga lahir filosofi Adat Basandi Syara’ – Syara’ Basandi Kitabullah (ABS-SBK). Dari Kesultanan Pagaruyung ini dikembangkan Islam kepada 4 kluster kerabat di rantau yakni Sapiah Balahan, Kuduang Karatan, Kapak Radai dan Timbang Pacahan. Di antara faktanya YY Dt. Rajo Bagindo dalam Bukunya “Talu Pangkal Tali, Indonesia Ujung Kata” menyebut menemukan Tambo Taluk Ambun di Kerajaan Talu, Pasaman yang mengungkap Islam dibawa tahun 1462 M.
Ternyata Islam masuk, menyebar dan berkembang juga dimulai dari kalangan kerabat istana kerajaan, di samping dari ulama berbasis surau. Islam menjadi sandi terhadap adat. Artinya Adat Minangkabau yang sejak awal sudah berbasis tauhid, tetap melaksanakan ajaran Islam. Tidak adat Minangkabau namanya kalau tidak melaksanakan Islam, karenanya adat tidak bertentangan dengan Islam, yang bertentangan adalah prilaku.
Seiiring dengan perjalanan waktu sampai abad ke-19, karena prilaku juga, kata Syekh Sulaiman al-Rasuli dalam bukunya Pertalian Adat dan Syara’, bahwa adat istiadat (Adat Nan Sabatang Batuang atau Adat Salingka Nagari) di Minangkabau kembali menunjukkan bentuk-bentuk praktek jahiliyah, suka sabung ayam, judi, minum tuak, sorak sorai (keributan) dsb. Karenanya dilakukan konsesus Marapalam kembali tahun 1837 sesudah Perang Paderi. Syekh Sulaiman membuat salinan singkat Konsesus Marapalam itu yang menegaskan, kembali secara murni dan konsekwen mengamalakan ABS – SBK.
__________________________________
Catatan Kaki:
[1] Seorang Gubernur di Yaman yang menerima seruan oleh Nabi Muhammad untuk memeluk Islam.
[2] Terletak 100 Km arah tenggara Kota Mekah, terkenal sebagai salah satu daerah pertanian terpenting di Arab Saudi memiliki hawa sejuk dengan ketinggian 1.500 m dari permukaan laut.
[3] Sekala Brak atau dibaca Sekala Bekhak setelah Islam masuk dibawah oleh 4 (empat) orang Umpu dari Minangkabau menjadi Kepaksian Sekala Brak yang terletak di Gunung Pesagi. Kepaksian merujuk kepada pemerintahan Islam.
Komentar
Posting Komentar