Langsung ke konten utama

PPAM: Kedatangan Bangsa “Mee Nam” dan “Viet”

Setelah bangsa ‘Ad al-Tsani mengembangkan peradaban yang berbasis tauhid (keesaan Tuhan) di wilayah tengah Pulau Paraco, datang pula kemudian bangsa Mee Nam dari Asia Tengah dan Selatan. Mereka disebut oleh ahli sejarah sebagi Melayu Tuo (Proto-Melayu) kira-kira 2.000-1500 SM. Mereka telah berperadaban batu muda (neolitikum), sehingga benda-benda peninggalan mereka seperti senjata, menhir (batu tagak), banyak terbuat dari batu yang lebih halus dengan ornament yang lebih rapi. Mereka masuk ke daratan tengah Pulau Paraco (sekarang Minangkabau) melalui sungai Kampar sampai ke hulu Sungai Mahek[1] menetap dan membangun peradaban di daerah ini. Faktanya di Mahek seolah menjadi pusat peradaban batu, peninggalannya dalam bentuk merhir yang banyak.


Dalam hal peradaban adat dan kebudayaan bangsa Mee Nam ini sangat menghormati kerbau, sehingga di wilayah yang didiaminya, seperti Batak, Toraja dan Minangkabau masih tetap memposisikan kerbau secara khusus dalam adatnya. Mereka sangat menghormati roh nenek moyang yang mereka yakini datang mengunjungi mereka pada hari-hari tertentu (hari ke-7, ke10, dan ke-100) setelah kematian. Selain itu, mereka menggunakan batu atau menhir (batu tagak) yang tinggi dan dibuat melengkung di atas kuburuan nenek moyang mereka yang telah meninggal dunia.


            Kehadiran Bangsa “Mee Nam” diikuti oleh kedatangan bangsa “Viet” (salah satu suku di Vietnam) yang lebih dikenal sebagai Hindia Belakang, pada kira-kira 500 tahun SM. Bangsa yang disebut ini  oleh ahli sejarah sebagai bangsa Melayu Muda (Deutro-Melayu) membawa peradaban perunggu berasal dari Dongson, wilayah Tonkin, Cina. Kebudayaan, adat dan peradaban mereka tidak terlalu jauh berbeda dengan Melayu Tua yang sangat menghormati roh orang yang telah meninggal. Salah satu dari tradisi adat mereka yang masih tersisa di beberapa wilayah saat ini adalah bernyanyi meratapi mayat yang baru meninggal (maratok), baik menggunakan alat musik, maupun tidak. Mereka melakukan upacara dan pesta besar-besaran untuk melepaskan kepergian orang tua, karib dan kerabat mereka yang meninggal dunia.


________________________________


Catatan Kaki:


[1] Mengalir di Luhak Limo Puluah Koto dan kemudian menyatu membentuk Sungai Kampar Kanan. Mahek selain menjadi nama sungai (batang; Bahasa Minangkabau) juga menjadi nama sebuah nagari yang terkenal dengan kekayaan peninggalan prasejarahnya di Sumatera Barat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Katam Kaji

[caption id="attachment_779" align="alignright" width="300"] Salah satu gambar yang kami dapat dari kampung[/caption] Terdengar oleh kami telah tiba pula musim Katam Kaji [1] di kampung kita. Pada hari Ahad yang dahulu (22 Juni 2013) kami dengar kalau orang di Surau Tapi yang ba arak-arak. [2] Kemudian pada hari Kamis yang lalu (27 Juni 2013) tiba pula giliran orang Joho dan sekarang hari Ahad (30 Juni 2013) merupakan tipak [3] orang Koto Panjang yang berarak-arak. Memanglah pada pekan-pekan ini merupakan pekan libur sekolah bagi anak-anak sekolah. Telah menerima rapor mereka. Memanglah serupa itu dari dahulu bahwa Katam Kaji dilaksanakan oleh orang kampung kita disaat libur sekolah. Namun ada juga yang berlainan, seperti orang Dalam Koto yang akan melaksanakan selepas Hari rayo Gadang [4] dan Orang Taluak yang kabarnya akan mengadakan selepas Hari Raya Haji . [5] Kami tak pula begitu jelas pertimbangan dari kedua kampung tersebut. Mungkin engku dan

29. Tata Upacara Adat Minangkabau: Upacara Batagak Pangulu

UPACARA BATAGAK PANGULU Salah satu upacara atau alek ( ceremony ) adat Minangkabau yang paling sakral yang mendapatkan perhatian dan perlakukan khsus adalah Batagak Pangulu atau ada juga yang menyebutnya Batagak Gala .  Upacara ini merupakan peristiwa pentasbihan dan pengambilan atau pengucapan sumpah serta janji seorang Pangulu pada saat ia diangkat dan dinobatkan sebagai pemimpin kaum yang bergelar Datuak. Upacara adat ini sesuai dengan ajaran Islam sebagaimana firman Allah mengingatkan: Sesungguhnyan orang-orang yang menukar janji ( nya dengan Allah ) dan sumpah-sumpah mereka dengan harga yang sedikit maka mereka itu tidak mendapat bahagian dari ( pahala ) di akhirat, dan Allah tidak akan berkata-kata dengan mereka dan tidak akan melihat kepada mereka pada hari kahirat dan tidak ( pula ) akan menyucikan mereka. Bagi mereka adalah azab yang pedih (QS:3:77). Pada bagian lain Allah juga mengingatkan: “ Dan janganlah kamu mengikuti orang yang selalu bersumpah, lagi yang hina ” (QS 6

Luak Gadang & Luak Kaciak

Luak , begitu sebagian orang Minang menyebutnya. Atau orang sekarang lebih mengenalnya dengan sebutan sumua atau sumur. Luak adalah sumber untuk mengambil air bagi sekalian orang, sebelum dikenalnya sistim penyaluran air oleh PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) sekarang. Pada masa sekarang, hampir sekalian rumah di Kamang memiliki luak namun tidak demikian pada masa dahulu. Dahulu luak hanya dimiliki oleh sebagian keluarga dan itupun tidak berada di dekat rumah melainkan agak jauh dari rumah. sehingga menyebabkan untuk mengambil air orang-orang harus berjalan agak jauh. [caption id="attachment_749" align="alignleft" width="300"] Luak Gadang[/caption] Adalah Kampuang Lubuak sebuah kampung di Jorong Nan Tujuah di Kamang. Kampung ini memiliki luak kampung yang bernama Luak Gadang dan Luak Kaciak. Kedua luak ini memiliki kegunaan (fungsi) yang berbeda. Luak Gadang berguna untuk mencuci dan mandi sedangkan Luak Kaciak berguna untuk mengambil air minum