Kerajaan Minangkabau di Pagaruyung setelah Adityawarman wafat diteruskan oleh putranya Ananggawarman (1375-1417). Ananggawarman ini semula menganut agama Hindu-Budha, lalu ia masuk Islam pada saat Aditywarman mangkat. Ananggawarman diteruskan oleh anaknya Wiajayawarman yang sudah menganut Islam dengan gelar Yang Dipertuan Maharaja Sakti I. Pada masa itu banyak masyarakat Minangkabau melakukan migrasi keluar Luhak nan Tigo dan mereka menyebarkan Islam. Di antara daerah migrasi adalah Kubuang Tigobaleh (Sapiah Balahan) terus ke Lubuak Kilangan (Kapak Radai), Sungai Pagu (Sapiah Balahan) terus ke Banda Sapuluah (Kapak Radai), Rantau Duobaleh Koto – Sangir. Kerabat ini menyebarkan Islam. Dengan demikian adat Minangkabau yang berbasis Islam menyebar ke daerah rantau Minangkabau yang diperintah raja-raja kerabat.
Raja Kerajaan Minangkabau Wijayawarman mangkat diteruskan oleh anaknya Sutan Bakilap Alam. Ia dengan teman belajar Islamnya di Barus Dt. Bandaro Putiah menyelenggarakan pertemuan Bukit Marapalam Mei 1403. Hasilnya melahirkan Undang Adat Minangkabau (UAM) disebut Sumpah Satia Bukit Marapalam. Ditulis dalam bahasa Minang dalam aksara Arab-Malayu, teridiri dari 90 ayat. Diperbanyak bukunya 8 rangkap. Sama halnya dengan penulisan al-Qur’an masa Usman bin Affan diperbanyak 8 rangkap, satu rangkap dipegang Usman dan satu rangkap dibagi ke Purpustkaan Madinah dan 6 rangkap dibagi ke daerah.
Sedangkan Hasil Sumpah Satia Bukit Marapalam itu, di bagi kepada:
- Rajo Tigo Selo (3 rangkap: Rajo Alam di Pagaruyung, Rajo Adat di Buo dan Rajo Ibadat di Sumpur Kudus).
- Lalu dibagi kepada Basa Ampek Balai (4 rangkap)
- dan satu rangkap lagi untuk Tuan Gadang di Batipuh.
Adapun Penghulu di Luak dan Rajo di Rantau mendapatkannya dengan cara menyalin dari aslinya. Masa Paderi, Hasil Sumpah Satia Marapalam itu termasuk Tambo Minangkabau, disebut Syekh Sulaiman al-Rasuli dipinjam oleh Belanda lalau dihabiskan (dimusnahkan). Maksudnya adalah untuk mengaburkan sejarah Bukit Marapalam itu khusus dan sejarah Minangkabau umumnya, kerena ketakutan kaum penjajah itu terhadap kekuatan perpaduan Islam dan adat ini yang dapat mendoktrin orang Minang berani mati melawan penjajah demi Islam dan membela tanah air.
Ada satu salinan dari buku asli Hasil Sumpah Satia Bukit Marapalam diterima Asbir Dt. Mangkuto dari ayahnya Abdul Latif Dt. Panduko Sati (kakak isteri Syekh Sulaiman al-Rasuli). Pada masa PRRI, salinan itu dipinjam salah seorang tentara APRI dan dihilangkan. Salinan yang dipegang Abdul Latif Dt.Panduko Sati diterima dari mamaknya bernama Tuanku Manso Dt. Panduko Sati, ia dikejar Belanda sampai ke Makah, karena ia staf Tuanku Buo yang dianggap banyak menyimpan dokumen penting Minangkabau harus dimusnahkan. Salinan yang diterima Manso Dt. Paduko Sati tadi diterima langsung dari Tuanku Nan Bakundi Rajo Adat di Buo, yakni beliaulah yang digantikan Abdul Jalil yang kemudian menjadi Rajo Adat di Buo berikutnya.
Syukur Syekh Sulaiman al-Rasuli dapat menyalin “Sari Pati Sumpah Satia Bukit Marapalam (Piagam)” itu dengan bahasa Minang dalam aksara Arab – Melayu tertanggal 7 Juni 1964. Ia menerima piagam ini dari warisan turun menurun dari tigo orang tuo: (1) Tuanku Lareh Kapau nan Tuo (sebelum tuanku Lareh terakhir), (2) Niniak dari Mintuonya di Ampang Gadang, dan (3) Angku Canduang Nan Tuo.
Dari “Sari Pati Sumpah Satia Bukit Marapalam” diwariskan Syekh Sulaiman al-Rasuli itu tercantum:
Dalam pertemuan besar itulah (di Bukit Marapalam-pen) diikrarkan bersama-sama dan menjunjung tinggi kebulatan yang telah dibuat oleh orang-orang pandai dan para terkemuka, yaitu:
- Penghulu – Rajo dalam nagari, kato badanga, pangaja baturuik, manjua jauh manggantuang tinggi.
- Alim Ulama, suluh bendang dalam nagari, aia nan janiah, sayak nan lancar, tampek batanyo dek Pangulu.
- Dalam pelaksanaannya, Alim Ulama memfatwakan dan Penghulu memerintahkan.
- Di sinan ditanamlah Rajo Adat di Buo, Rajo Ibadat di Sumpur Kudus.
Dikarang Sumpah jo Satia, yaitu siapa yang melanggar kebulatan ini dimakan biso kawi di atas dunia, ke atas indak bapucuak, ke bawah indak baurek, di tangah dilariak kumbang, di akhirat dimakan kutuk kalam Allah.
Di sinan ditetapkan petatah adat nan berbunyi: Adat nan Bapaneh, Syara’ nan Balinduang, artinya adat adalah tubuh dan syara’ adalah jiwa, di Alam Minangkabau. Dan, petatah adat nan berbunyi: Syara’ Mangato, Adat Mamakai”.
Sumpah Satia Bukit Marapalam itu menjadi filosofi Masyarakat Hukum Adat Minangkabu yakni: ABS-SBK (Adat Basandi Syara’ – Syara’ Basandi Kitabullah). Untuk melaksanakan Sumpah Satia Bukit Marapalam di awal abad ke-15 itu maka Kerajaan Minangkabau di Pagaruyung diganti nomenklaturnya menjadi Kesultanan Minangkabau Darulqarar di Pagaruyung (disingkat Kesultanan Pagaruyung). Sultan pertamanya ialah Daulat Yang DiPertuan (DYDP) Sutan Bakilap Alam Shultan Alif Khalifatullah berfungsi Rajo Alam. Sistem kekuasaan dan kepemimpinan dipegang oleh Rajo Tigo Selo, yakni Rajo Alam di Pagaruyuang, Rajo Adat di Buo dan Rajo Ibadat di Simpur Kudus. Diperkuat Basa 4 Balai dan Tuanku Gadang di Batipuah.
Sistem Tigo Selo di Kesultanan Pagaruyung tadi, pelaksanaannya dalam sistem kebesaran penghulu di nagari sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat di Minangkabau, tercermin dalam struktur ninik mamak bajinih di nagari dengan memakai sistem “Tungku Tigo Sajarangan” dan fungsi “tali tigo sapilin”. Normanya seperti dalam petiti: badasa ka anggot tanggo, bahukum ka raso jo pareso, baundang ka alua jo patuik. Pelaksanaannya, Rajo Alam memerankan fungsi penghulu (tungku ninik mamak, memegang tali adat – menghukum dengan raso jo pareso). Rajo Adat memerankan fungsi manti (tungku cadiak pandai, memegang tali undang, menimbang atas alua jo patuik). Rajo Ibadat memerankan fungsi ulama (tungku alim ulama, memegang tali syara’, memperkuat pedoman dasar – badasa – bagi adat disandi syara’ dan syara’ disandi Kitabullah).
Sejak penamaan Kesultanan Pagaruyung itu, Minangkabau kental dengan ciri Islam sebagai sandi adat. Justru adat dan agama Islam dan keterpaduannya di Minangkabau mendapat perhatian istimewa dan berbeda dari suku bangsa lainnya. Urusan adat Minangkabau diurus oleh salah seorang dari Rajo Tigo Selo yakni Rajo Adat. Rajo Tigo Selo dibantu oleh Empat orang Menteri Besar yang disebut dengan Basa Ampek Balai yang terdiri dari Bandaro di Sungai Tarab, Tuan Qadhi di Padang Ganting dan Datuk Indomo di Saruaso dan Makhudum di Sumaniak, diperkuat DYD Tuan Gadang di Batipuah. Sistem pemerintahan adat ini memayungi kerajaan kerabat di rantau 150-han kerajaan, sekaligus 4 kluster kerabat dirantau menjadi kekuatan Kesultanan Minangkabau.
Empat kluster kerabat Minangkabau itu: (1) Sapiah Balahan (keturunan ibu di rantau), (2) Kuduang Karatan (Keturunan mamak di rantau), (3) Kapak Radai (mekaran keturunan ibu di rantau), dan (4) Timbang Pacahan (mekaran keturunan mamak di rantau). Kekuatan sistem kekerabatan ini yang menjadi energi memayungi 15 wilayah di Sumatera dan Jawa serta di Negara Melayu lainnya di bawah kekuasaan Sriwijaya dulu yang dipindahkan ke Swarnabhumi Dharmasraya dilanjutkan Kerajaan Malayapura dan diteruskan oleh Kesultanan Pagaruyung. Melihat luasnya wilayah yang dikendalikan dengan sistem payung kekerabatan, memperlihatkan Kesultanan Pagaruyung adalah imperium seperti yang disebut dalam buku “Kesultanan Pagaruyung, Jejak Islam pada Kerajaan-kerajaan di Dharmasraya” ditulis YY Dt. Rajo Bagindo, dkk tahun 2016. Karenaan kekuatan kekerabatan mendukung Kesultanan Pagaruyung, menyebabkan Minangkabau masa itu memasuki masa kegemilangan, Islam dan adat dikembangkan keseluruh kerabat Minangkabau di ranah dan di rantau. Negeri damai, aman sentosa, sesuai nama Kesultanan “Darulqarar” (Negeri yang Damai) sejalan dengan visi orang Minangkabau “Nagari Aman Santoso”.
KESIMPULAN
Dari semua yang sudah diuraikan dapat diambil kesimpulan sbb.:
- Adat Minangkabau sejak dari awalnya adalah adat yang berbasis ajaran tauhid yang mengesakan Tuhan, Allah Subhanahuwata’ala, sehingga secara tegas dapat dikatakan orang Minangkabau mempunyai adat mu’tabarah (yang dipakai) lazim disandi syara’ yang qawi, seperti adat yang pernah dipakai sejak era kenabian (dari Adam A.S sampai Muhammad S.A.W).
- Dalam perkembangannya adat Minangkabau mengalami cobaan kemusyrikan silih berbaganti, namun selalu diluruskan oleh Allah Subhanauwata’ala melalui kedatangan orang-orang mu’min.
- Setelah bangsa ‘Ad al-Tsani (kaum pengikut Hud) yang berkeimanan tauhid masuk ke Minangkabau (waktu itu belum bernama Minangkabau). Sedangkan peradaban dan adat Minangkabau yang mendapat pengaruh kemusyrikan dari bangsa Mee Nam, Melayu Tua (Proto-Melayu) dan Viet, Malayu Muda (Deutro-Melayu), tidak bertahan lama dalam kalbu orang Minangkabau, dikoreksi adat yang disandi Islam..
- Masuknya bangsa Saba’ (kaum Nabi Sulaiman) yang kembali meluruskan peradaban dan adat Miangkabau ke ajaran tauhid.
- Cobaan kemusyrikan kembali menerpa peradaban dan adat Minangkabau bersamaan dengan masuknya bangsa Dinasti Ptolemy penguasa Mesir, yang dilanjutkan dengan kedatangan bangsa Tamil dan Sanskerta. Pengaruh kemusyrikan ini diluruskan kembali dengan masuknya Islam ke Minangkabau.
- Minangkabau tak tertaklukan. Ekspedisi Pa-Melayu yang semulai ingin menguasai, berubah menjadi kunjungan persahabatan dan perluasan kekerabatan Minangkabau ke Majapahit. Faktanya Adityawarman ayahnya di Majapahit, ibunya Dara Jingga dari Minangkabau. Kerajaan Minangkabau semula ada pengaruh Majapahit, justru kekuasaan Sri Mahararaja Diraja/ rajo dibatasi untuk rantau, sedangkan nagari diurus Masyarakat Hukum Adat dipimpin penghulu. Keadaan ini memberi peluang Kesulthanan Minangkabau Darulqarar di Pagaruyung telah memperkokoh adat Minangkabau yang sejak semula berbasis ajaran tauhid dan selanjutnya mengintegrasikan (menyatukan) adat dengan Islam direkat dengan filosofi ABS-SBK..
Komentar
Posting Komentar