SUMBER HUKUM ADAT
Undang dan hukum adat Minangkabau memiliki sumber rujukan yang jelas baik dalam penyusunan maupun dalam penerapannya. Sumber tersebut adalah syara’ atau Syari’at Islam yang bersumber dari Kitabullah dan Alam sebagai sunnatullah yang tidak tertulis. Hirarkhi turunan sumber hukum adat Minangkabau tersebut adalah sbb:
- Syara’ nan Basandi Kitabullah sebagai hukum dasar (dasa, anggo tanggo) adat Mianangkabau, sebagaimana dikukuhkan dalam falsafah Adat Basandi Syra’-Syara’ Basandi Kitabullah (ABS-SBK). Syara’ adalah serangkain ketentuan-ketentuan hukum Allah tentang akidah iman dan ibadat serta akhlak–ihsan dalam hubungan manusia yang berlaku untuk seluruh umat manusia yang semuanya bersumber dari Al-Qur’an dan Hadist Rasullulah S.A.W. Secara umum hukum yang diatur dalam hukum syara’ terdiri dari 5 : (1) Wajib, (2) Sunat, (3) Haram, (4) Makruh (lebih ditinggalkan) dan 5) Mubah (boleh ditinggalkan dan boleh dilakukan).
- Undang Adat Minangkabau adalah serangkain ketentuan atau aturan yang mengatur prilaku dan hubungan antara masyarakat Minangkabau yang telah disepakati dalam Sumpah Satia Marapalam (Bai’ah[1] Marapalam). Pada dasarnya Undang Adat Minangkabau, tidak satupun yang bertentangan dengan Syara’ (Syari’at Islam) karena salah satu poin dasar dari Bai’ah (Bai’at) Marapalam adalah pengakuan dan kesepakatan bahwa Sandi Adat Minangkabau adalah Syara’ nan basandi Kitabullah. Kalau ada bentuk perbuatan dan rupa, tutur papar seperti bertentangan dengan syara’ (Islam), maka itu bukan Undang Adat Minangkabau, tetapi perangai (prilaku). Secara umum Undang Adat Minangkabau ini memuat 4 (empat) perinsip umum:
(1) Pernyataan berdirinya Kesulthanan Minangkabau Darurqarar (Dar al-Qarar) di Pagaruyung dan aturan terkait kesultanan yang dilaksanakan raja-raja lebih 150 kerajaan kerabat di rantau;
(2) Sandi Adat Minangkabau,
(3) Undang dan Hukum Adat Minangkabau, dan
(4) Ketentuan Umum tentang Nagari.
Undang hukum dan adat yang lebih rinci mengatur hubungan masyarakat dalam nagari disepakati oleh masyarakat nagari masing-masing yang tidak boleh bertentangan dengan Undang Adat Minangkabau (Adat nan Sabatang Panjang) dan berlaku hanya di masing-masing nagari (Adat Salingka Nagari) dan mengatur sako pusako salingka kaum.
- Aturan Ditetapkan Rajo Nan Tigo Selo dan Kesepakatan Penghulu Nagari, adalah aturan lain yang dibuat dan ditetapkan kemudian secara kolektif. Aturan tersebut terdiri dari aturan yang ditetapkan Rajo Tigo Selo dan turunannya ke ranah dan rantau dalam bentuk ketetapan hasil musyawarah mufakat di nagari yang dipimpin penghulu dan di rantau dipimpin oleh rajo. Rajo Tigo Selo terdiri; Rajo Alam, Rajo Ibadat, dan Rajo Adat. Rajo Alam membidangi urusan pemerintah (eksekutif) dan di nagari direpresentasikan oleh penghulu yang menjadi pucuak adat. Rajo Ibadat membidangi urusan agama, yang di nagari direpresntasinya ialah malim; sedangkan Rajo Adat membidangi urusan adat yang di nagari direpresentasikan oleh Ketentuan dan kesepakatan ini tidak boleh bertentangan dengan Undangn Adat Minangkabau, karena Undangn Adat Minangkabau sudah tegas dinyatakan basandi syara’ (Hukum Islam). Sedangkan kesepakatan nagari dan beberapa nagari atau aturan dan ketentuan atau kebiasaan yang dibuat oleh sebuah nagari atau beberapa nagari secara kolketif yang hanya berlaku di nagari yang bersangkutan dan tidak boleh bertentangan dangan Undang Adat Minangkabau (Adat nan Sabatang panjang).
Pelaksanaan hukum adat Minangkabau dilakukan secara bersama dalam sebuah sistem yang disebut dengan Tali Tigo Spilin dan Tungku Tigo Sajarangan. Tali Tigo Sapilin adalah sumber hukum Minangkabau, sebagai tempat bergantung masyarakat Minangkabau yang terdiri dari:
1) tali syara’
2) tali adat, dan
3) tali udang;
sedangkan tungku tigo sajarang adalah wadah permusyawaratan adat yang terdiri dari: 1) Niniak Mamak, 2) Alim Ulama, dan 3) Cadiak Pandai.
- Tali syara’ adalah sumber dasar yang disebut dasa. Diungkapkan oleh petatah-petitih adat “badasa ka anggo tanggo”. Anggo tanggo adalah anggaran dasar yang wujudnyanya di dalam adat Minangkabau adalah Kitabullah (al-Qur’an). Tali syara’ ini dipegang oleh ulama sekaligus menduduki posisi fungsionaris Tuanku Ulama dalam sistem Tungku Tigo Sajarangan. Karena itu janji Sumpah Satia Bukit Marapalam, mendasarkan adat kepada syara’ sehingga menjadi falsafah hukum “Adat nan Basandi Syara’, Syara’ nan Basandi Kitabullah”.
- Tali undang adalah Undang Adat Minangkabau. Diungkapkan dalam petatah-petitih adat bahwa baundang ka alua jo patuik (alur dan patutut). Namun patuik saja tidak cukup, tapi juga harus mungkin (fleksibel, layak, sudah ditimbang ateh nan ado). Tali Undang Adat Minangakabau dipegang Cadiak Pandai sekaligus menduduki posisi fungsionaris Tuanku Cadiak Pandai dalam sistem Tungku Tigo Sajarangan;
- Tali adat adalah ketentuan yang berpedoman kepada undang adat, sebagaimana dinyatakan dalam petatah-petitih adat: “bahukum ka raso jo pareso”. Dalam perdamaian adat, hukum dijatuhkan dan ditimbang atas raso jo pareso. Seimbang dalam menggunakan kecerdasan emosional (raso) dan kecerdasan intelegensi (pareso, rasional). Tali adat ini dipegang oleh Penghulu (atau Rajo) sekaligus menduduki posisi fungsionaris Tuanku Nninik Mamak dalam sistem Tungku Tigo Sjarangan. Wujud hukum dalam perdamaian/ peradilan adat, diambil dari Peraturan Penghulu di Nagari, Luak, dan rantau dan atau peraturan yang ditetapkan Rajo Tigo Selo yang dipakai rajo-rajo di rantau Minangkabau. Dalam prakteknya terlihat dalam isi kato pusako Minangkabau:
Kato Panghulu manyalasaikan,
Kato Rajo malimpahkan,
Kato Malin kato hakikat,
Kato Manti kato manghubuang,
Kato Dubalang kato mandareh,
Kato Parampuan kato mamacah
Kato rang banyak kato bagalau.
________________________
Catatan Kaki:
[1] Atau dikenal dengan Bai’at, Berasal dari Bahasa Arab yang berarti Sumpah Setia
Komentar
Posting Komentar