Karena adat Minangkabau dibangun atas ikatan kekerabatan dan kekeluargaan yang kuat, peradilan adat pada dasarnya menganut prinsip perdamaian. Semua pertikaian, perselisihan dan persengketaan diselesaikan dengan perdamaian. Perdamaian yang disepakati melalui proses musyawarah untuk mencapai mufakat berlangsung secara hirakhis—Batanggo naik-Bajanjang turun. Pada tingkat paling rendah, sebuah pertikaian atau perselisihan yang hanya melibatkan keluarga satu paruik, maka penyelesaiannya cukup berlangsung dalam prauik itu saja. Bilamana perselisihan atau persengketaan tersebut tidak dapat diselesaikan dalam limbago paruik, atau telah melibatkan kaum, maka pihak-pihak yang berselisih dan bersengketa bisa meminta peradilan pada ke limabgo kaum.
Begitu pula halnya, bila perselisihan dan persengketaan tersebut tidak menemukan kata sepakat (mufakat) pada tingkat kaum, maka yang bersengketa boleh mengajukan proses peradilan ke tingkat kampuang/ jorong atau nagari—Kusuik-kusuik bulu ayam, paruah juo nan manyalasaiaannyo. Dengan demikian, peradilan adat Miangkabau pada dasarnya adalah proses perdamaian bukan proses mencari kalah-menang.
Walapupun setiap orang tidak pernah menghendaki terjadinya sengketa, pertikaian dan perselisihan, setiap orang pun tidak bisa menghindar dari kenyataan tersebut. Adat Minangkabau memandang perbedaan pendapat, perselisihan yang terjadi dalam masyarakat sebagai hal yang biasa; perselisihan itu disebut kusuik. Dalam masyarakat Minangkabau, ada empat tingkat kerumitan kusuik dan masing-masing memiliki metode atau instrumen penyelesaiannya masing-masing yang sangat bijaksana.
Pertama adalah kusuik bulu, yang disebut juga dengan kusuik sayok; instrumen penyeselasaiannya adalah paruah—Kusuik-kusuik bulu ayam paruah juo nan manyalasaianyo.
Kedua adalah kusuik rambuik; metode atau instrument penyelesaiannya adalah sikek jo minyak—Kusuik rambuik sikek jo minyak nan manyalaiannyo.
Ketiga adalah kusuik banang; metode penyelesaiannya adalah dicari ujung pangkal—Kusuik banang, dicari ujuang jo pangkanyo.
Keempat adalah kusuik sarang timpuo; metode penyelesaiaanya adalah dibakar—Kusuik sarang tampuo api nan manyalasaianyo. Metode dan instrument penyelesaian kusuik (sengketa) yang keempat adalah pilihan terakhir yang jarang diterapkan dalam sistem peradilan adat Minangkabau. Hasil dari metode dan instrument penyelesaian persengketaan ini adalah bahwa semua pihak merugi—Kalah jadi abu, manang jadi arang. Oleh karena itu, sebelum memilih alternatif terakhir, para pihak yang bersengketa diberi peluang untuk duduk basamo, mencari akal/ cara lain--nan aka ndak pernah tatumbuak, nan budi tak pernah tajua. Kalau duduak basamo belum juga menghasilkan penyelesaian—kato manyalasai diparambunkan (peroses pendinginkan/ cooling down).
Namun silaturahmi antar unsur di nagari, dan silaturrahim (hubungan kasih sayang badusanak nan saparuik) tidak boleh putus oleh perbedaan dan perselisihan. Justru pertikaian dan sangketo itu sering menambah erat silaturrahim dan silaturahi—Ratak indak mambao caro-rannyuak nan indak mambao hilang. Tidak jarang terjadi, perbedaan dan perselisihan bahkan menjadi penguat tali silaturrahim dan silaturrahmi, karena memperkuat identitas unsur di nagari dan dunsanak dalam saparuik (konsep sosial konflik). Bila sebuah perdamaian tercapai, maka semua pertikaian tidak ada lagi--Hukum jatuah sangketo sudah, dandam habih kasumat putuih.
Komentar
Posting Komentar