KATEGORI SENGKETA PERDATA
Secara umum, sistem adat Minangkabau mengelompokkan sengketa perdata atas dua kelompok. Pertama adalah sengketa yang didasarkan atas besarnya nilai objek yang disengketakan, dan keduda adalah sengketa yang didasarkan pada jenis yang disengketakan. Berdasarkan nilai barang atau objek yang disengketakan, sengketa dapat dikelompokkan atas tiga yaitu:
1) sengketa besar,
2) sengketa sedang, dan
3) sengketa ringan.
Berdasarkan jenis persengketaan, sengketa dapat dibedakan atas tiga yaitu:
1) sengketa adat,
2) sengketa syara’, dan
3) sengketa umum.
Berdasarkan tingkat kerumitannya, sengketa dalam masyarakat Minangkabau dapat dikelompokkan atas empat yaitu:
1) kusuik-kusuik bulu ayam,
2) kusuik banang,
3) kusuik rambuik dan
4) kusuik sarang tampuo.
Kusuik bulu ayam adalah perselisihan atau kesalah fahaman antara orang yang berada dalam sebuah keluarga atau suku yang sifatnya sangat temporal, seperti perselisihan antara dua orang bersaudara, antara suami isteri dan lain-lain. Peselisihan tingkat ini biasanya diselesaikan oleh Mamak Rumah (tungganai rumah), tanpa melibatkan Pangulu Kaum atau Suku—kusuik-kusuik bulu ayam, paruah juo nan ka manyalasaikan. Kusuik Banang adalah perselisihan atau persengketaan yang lebih rumit dan kalau tidak diselesaikan secara baik akan menambah besar permasalahan.
CARA PENYELESAIAN SENGKATA PERDATA
Dalam adat Minangkabau yang berbasis Syara’, proses peradilan sengketa perdata bisa lakukan apa bila telah memenuhi 4 (empat) syarat berikut:
Ada Mudda’i (Penggugat)
Ada Muda’a alaih (tergugat)
Ada Mudda’ fihi/ Mudda’ bihi (objek gugatan)
Ada Pernyataan gugatan yang jelas
Setelah menerima pengaduan dari pihak yang merasa dirugikan, hakim peradilan adat melakukan peradilan dengan melalui 9 (sembilan) langkah proses peradilan:
- Pembacaan gugatan tanpa kehadiran pihak Tergugat; kalau gugatan dinilai kurang sempurna, Si Penggugat dapat memperbaiki gugatannya.
- Pembacaan gugatan yang telah sempurna dihadapan t
- Pembacaan jawaban Tergugat dihadapan penggugat,
- Pembacaan bahasan Penggugat di depan Tergugat,
- Pembacaan jawaban ke-2 (pembahasan) oleh tergugat,
- Penyerahan bukti dan mendengar keterangan saksi dari p
- Penyerahan bukti dan mendengar keterangan saksi t
- Penyampaian kesimpulan di hadapan kedua belah pihak.
- Pembacaan keputusan akhir dari para hakim dihadapan kedua pihak yang bersengketa
Dalam praktek penyelesaian perkara, peradilan adat Miangkabau menerapkan pendekatan atau metode Alternatif Penyelesaian Sengketa.(APS). Pendekatan ini terdiri dari empat pilihan yang diserahkan kepada pihak yang berperkara menentukannya dengan azas musyawarah dan mufakat. Pilihan tersebut adalah: 1) Mediasi, 2) Negosiasi, 3) Arbitrasi, dan 3) Konsolidasi.
Mediasi adalah upaya menyelesaikan konflik (sengketa) yang ditalangi oleh pihak ketiga yang netral dan tidak punya kewenangan mengambil keputusan; ia hanya membantu pihak bersengketa menengahi penyelesaian. Dalam hukum positif pendektan ini tertuang dalam PERMA RI No.1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Oleh karena itu, dalam penyelesaian sengketa, perinsip utamanya yang harus dipegang teguh oleh semua pihak adalah perdamaian. Dalam penyelesaian sengketa adat Minangkabau justru tidak ada konsep kalah-menang. Karena kekuatan Minangkabau adalah konsep badusanak dalam 4 (empat) kluster kekerabatan (sapiah balahan, kuduang karatan, kapak radai dan timbang pacahan).
Oleh karena itu, berperkara harus ditimbang-timbang, pertimbangan dan keseimbangan diletakkan diatas asas badunsanak. Kalaupun ada sanksi/ hukuman, maka hukumannya adalah hukum malu. Proses peradilan di Minangkabau dilakukan secara bajanjang naik batanggo turun, tidak boleh loncat. Karena orang Minang memegang prinsi menjaga malu--indak mambao busuak ka langau, indak manapiak ayia di dulang. Oleh kaena itu, orang Minangkabau berusaha untuk menghindar dari berperkara yang ujungnya kalah menang. Dalam adat diingatkan: manang jadi baro, kalah jadi abu. Untuk itu, semua orang laki-laki yang pasti menjadi mamak dituntut untuk kepiawaian dalam menghukum atas daras raso jo pareso, gugatan atas dasar undang alua jo patuik. Sebab tidak boleh terjadi seperti yang diingatkan oleh petitih berikut ini:
Bukik putuih rimbo kaluang
Dirandang jaguang dihanggusi
Hukum putuih badan tabuang
Dipandang gunuang ditangisi.
Penyelesai sengketa diluar pengadilan diatur juga oleh Undang-Udang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, khususnya Pasal 59, 60 dan 61. Pada Pasal 59 ayat (1) dijelaskan bahwa Arbitrase merupakan cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar pengadilan yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Putusan Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak (ayat 2). Pada ayat (3) dijelaskan bahwa dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan perintah ketua pengadilan negeri atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa.
Pasal 60 ayata (1) menjelaskan bahwa alternatif penyelesaian sengketa merupakan lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi,mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli. Pasal (2) mengamanahkan bahwa penyelesaian sengketa melalui alternatif penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hasilnya dituangkan dalam kesepakatan tertulis. Sedangkan ayat (3) menekankan bahwa kesepakatan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) bersifat final dan mengikat para pihak untuk dilaksanakan dengan itikad baik. Sedangkan Pasal 61 memuat tentang ketentuan Ketentuan mengenai arbitrase dan penyelesaian sengketa diluar pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58, Pasal 59, dan Pasal 60 diatur dalam undang-undang.
Komentar
Posting Komentar