Langsung ke konten utama

26. Peradilan Adat: Pendahuluan

PENDAHULUAN


Secara umum, Peradilan Adat Minangkabau adalah proses perdamaian dan penyelesaian sengketa sesuai dengan hukum adat Minangkabau. Tujuan peradilan  Adat Minangkabau adalah pendidikan moral dengan penyadaran, sehingga masyarakat “malu  melakukan pelanggaran hukum adat”. Oleh karena itu sistem hukum Minangkabau tidak mengenal penjara, karena yang bersalah tidak dipenjara, tetapi diberi “hukuman malu”. Betapa tidak malu, orang yang melanggar hukum adat tidak dibawa duduk bersama atau tidak dibawa berunding dan tidak dibawa berjalan seiring bahkan tidak dilirik dan tidak ditegur sapa di dalam masyarakat. Karena malu, peradilan adat ini tingkat kejeraannya sangat tinggi, karena tidak tahan menanggung malu.


Tangan mancancang—bahu mamikua
Tapijak di baro arang–hitam  tapak
Kaki tadorong inai padanannyo;
Muluik tadorong ameh padanannyo.


Dalam konteks adat Minangkabau, peradilan di tingkat nagari yang secara otonomi dipimpin oleh penghulu pada dasarnya dilakukan secara bertingkat. Tingkatan tersebut sesuai dengan limbago yang bajanjang naik batanggo turun. Ada lima tingkatan limbago peradalan dalam adat adat Miangkabau:


1) rumah tanggo,
2) paruik,
3) kaum/ jurai,
4) suku dan
5) nagari.


Dalam konteks  Kerajaan/ Kesultanan Minangkabau, masih ada jenjang yang lebih tinggi lagi. Kalau tidak selesai pada tingkat nagari, penyelesaian sengketa tersebut dapat naik banding ke tiga limbago lagi. Misalnya, pada kasus Banda Sapuluah (10 Kota Pantai) dengan Tuo Kerapatannya di Ampiang Parak (Pesisir Selatan sekarang) dan Pucuak Rantaunya adalah Alam Surambi Sungai Pagu (Solok Selatan sekarang). Banda Sapuluah yang rajonya 10 (sepuluh) pula adalah:


1) Batang Kapeh,
2) Taluak,
3) Taratak,
4) Surantiah,
5) Ampiang Parak,
6) Kambang,
7) Lakitan,
8) Palangai,
9) Sungai Tunu, dan
10) Punggasan.


Sengketa dan perdamaian adat yang tidak selesai di tingkat nagari dapat naik banding kepada 3 lembaga:


1) Tuo Kerapatan di Ampiang Parak,
2) Pucuak Rantau di Alam Surambi Sungai Pagu, dan terakhir
3) Basa 4 Balai di Kesultanan Pagaruyung.


Proses penyelesaian sengketa dan perdamaian adat setingkat yang lebih tiggi tersebut hampir tidak ditemukan, karena jika dua tingkat limbago saja tidak mampu menyelesaikan sebuah perkara, maka limbago yang di bawahnya merasa malu. Sengketa yang dibawa keatas bisa dipandang sebagai membuka aib keluarga—membawa busuak ke langau, manapiak air di dulang, dada sendiri yang akan basah. Oleh karena itu pula, orang Minangkabau selalu optimis: tak ado kusuik nan tak akan salasai, tak karuah nan tak ka janiah. Oleh sebab itu pula demonstrasi yang tidak ada akar dari budayanya Minangkabau sering membuahkan perpepecahan, destruksi, kehancuan hakikat demokrasi itu sendiri. Umpamanya, orang yang melakukan demonstrasi dengan cara pengerahan masa sama artinya mempermalukan kaum sendiri. Setiap tingkatan limbago pasti memiliki rasa malu kalau tidak mampu menyelesaikan masalah kaumnya sendiri..


  Karenanya, persoalan yang melibatkan anggota keluarga dalam sebuah rumah tangga, biasanya diselesaikan dalam rumah tangga itu sendiri; paling tinggi penyelsaiannya dilakukan pada tingkat paruik oleh Tungganai Rumah. Demikian pula perkara yang melibatkan orang saparuik (satu perut/  induak/  ibu), biasanya diselesaikan oleh tungganai, paling tinggi naik ke tingkat mamak kapalo kaum. Perselisihan dan sengketa yang melibatkan anggota masyarakat dalam sebuah kaum atau jurai diselesaikan oleh mamak kalapo kaum, paling tinggi naik ke tinggkat Datuak Andiko. Bila sebuah perkara melibatkan anggota dari dua atau lebih kaum diselesaikan oleh penghulu pucuk dimulai dari Penguhulu Andiko juga. Sengketa pada tingkat suku, diselesaikan oleh Penghulu Pucuak. Namun jika sengketa atau perselisihan tesebut tidak selesai pada tingkat suku, maka penyelesaiannya naik ke tingkat yang paling tinggi, Peradilan Nagari. Artinya dilakukan dalam proses peradilan ada pada tingkat Kerapan Niniak Mamak Nagari. Peradilan adat di Miangkabau sifatnya lebih banyak mengarah kepada mekanisme perdamain adat antara pihak-pihak yang berperkara. Sungguhpun demikian, masyarakat Minangkabau memiliki efek jera sangat tinggi terhadap proses peradilan adat, sehingga mereka malu mengulangi apalagi dalam kasus yang sama dan oleh keluarga, peruik dan suku yang sama.


Dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia, Konstitusi Negara Republik Indonesia menegaskan: “kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi” (UUD 1945, Pasal 24). Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman tidak secara eksplisit mengatur tentang peradilan adat dan tata cara penyelesaian sengketa adat.


Namun, Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18B ayat (2) mengakui dan menghormati keberadaan masyarakat hukum adat—Negara  mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Pasal 2 ayat (2) Undanga-Undang Kekuasaan Kehakiman secara tersirat mengakui keberadaan hukum adat. Bahkan, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, Pasal 103 secara eksplisit menyatakan bahwa salah satu kewenangan Desa Adat adalah  “penyelesaian sengketa adat berdasarkan hukum adat yang berlaku di Desa Adat dalam wilayah yang selaras dengan prinsip hak asasi manusia dengan mengutamakan penyelesaian secara musyawarah”; pada huruf (e) ditegaskan: “penyelenggaraan sidang perdamaian peradilan Desa Adat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.


Dengan demikian jelas dipahami bahwa, walaupun dalam sistem kekuasaan kehakiman tidak diatur, peradilan dan penyelesaian sengketa dapat dilakukan dengan peradilan adat. Oleh karena itu, bahwa tentang peradilan adat dalam modul ini lebih ditekankan kepada penjelasan peradilan adat di nagari-nagari sebagai kesatuan Masyarakat Hukum Adat, yang substansinya mengedapankan pencapaian mufakat bulat perdamaian adat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Katam Kaji

[caption id="attachment_779" align="alignright" width="300"] Salah satu gambar yang kami dapat dari kampung[/caption] Terdengar oleh kami telah tiba pula musim Katam Kaji [1] di kampung kita. Pada hari Ahad yang dahulu (22 Juni 2013) kami dengar kalau orang di Surau Tapi yang ba arak-arak. [2] Kemudian pada hari Kamis yang lalu (27 Juni 2013) tiba pula giliran orang Joho dan sekarang hari Ahad (30 Juni 2013) merupakan tipak [3] orang Koto Panjang yang berarak-arak. Memanglah pada pekan-pekan ini merupakan pekan libur sekolah bagi anak-anak sekolah. Telah menerima rapor mereka. Memanglah serupa itu dari dahulu bahwa Katam Kaji dilaksanakan oleh orang kampung kita disaat libur sekolah. Namun ada juga yang berlainan, seperti orang Dalam Koto yang akan melaksanakan selepas Hari rayo Gadang [4] dan Orang Taluak yang kabarnya akan mengadakan selepas Hari Raya Haji . [5] Kami tak pula begitu jelas pertimbangan dari kedua kampung tersebut. Mungkin engku dan

29. Tata Upacara Adat Minangkabau: Upacara Batagak Pangulu

UPACARA BATAGAK PANGULU Salah satu upacara atau alek ( ceremony ) adat Minangkabau yang paling sakral yang mendapatkan perhatian dan perlakukan khsus adalah Batagak Pangulu atau ada juga yang menyebutnya Batagak Gala .  Upacara ini merupakan peristiwa pentasbihan dan pengambilan atau pengucapan sumpah serta janji seorang Pangulu pada saat ia diangkat dan dinobatkan sebagai pemimpin kaum yang bergelar Datuak. Upacara adat ini sesuai dengan ajaran Islam sebagaimana firman Allah mengingatkan: Sesungguhnyan orang-orang yang menukar janji ( nya dengan Allah ) dan sumpah-sumpah mereka dengan harga yang sedikit maka mereka itu tidak mendapat bahagian dari ( pahala ) di akhirat, dan Allah tidak akan berkata-kata dengan mereka dan tidak akan melihat kepada mereka pada hari kahirat dan tidak ( pula ) akan menyucikan mereka. Bagi mereka adalah azab yang pedih (QS:3:77). Pada bagian lain Allah juga mengingatkan: “ Dan janganlah kamu mengikuti orang yang selalu bersumpah, lagi yang hina ” (QS 6

Luak Gadang & Luak Kaciak

Luak , begitu sebagian orang Minang menyebutnya. Atau orang sekarang lebih mengenalnya dengan sebutan sumua atau sumur. Luak adalah sumber untuk mengambil air bagi sekalian orang, sebelum dikenalnya sistim penyaluran air oleh PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) sekarang. Pada masa sekarang, hampir sekalian rumah di Kamang memiliki luak namun tidak demikian pada masa dahulu. Dahulu luak hanya dimiliki oleh sebagian keluarga dan itupun tidak berada di dekat rumah melainkan agak jauh dari rumah. sehingga menyebabkan untuk mengambil air orang-orang harus berjalan agak jauh. [caption id="attachment_749" align="alignleft" width="300"] Luak Gadang[/caption] Adalah Kampuang Lubuak sebuah kampung di Jorong Nan Tujuah di Kamang. Kampung ini memiliki luak kampung yang bernama Luak Gadang dan Luak Kaciak. Kedua luak ini memiliki kegunaan (fungsi) yang berbeda. Luak Gadang berguna untuk mencuci dan mandi sedangkan Luak Kaciak berguna untuk mengambil air minum