HARIMAU NAN SALAPAN
DALAM DEVIASI PENULISAN SEJARAH YANG MENYESAKKAN
Oleh: Nalfira gelar Sutan Pamenan
Parintangrintang: Beberapa hari yang lalu, saya kembali dibawa ke diskusi tentang Harimau Nan Salapan dalam Ciloteh Tanpa Suara pada Note laman Facebook yang ditulis Pak Saiful Guci. Tulisan yang ditulis pada tanggal 24 Oktober 2014 tersebut begitu menarik, karena memperlihatkan adanya perbedaan nama-nama tokoh Harimau Nan Salapan yang terlibat dalam Perang Paderi. Pak Saiful mencoba membandingkan tokoh-tokoh yang disebut sebagai “Harimau Nan Salapan” oleh akun Johney Saputra (tanggal 18 Oktober 2014 ) pada sebuah grup yang beliau ikuti dengan tokoh-tokoh yang disebut sebagai “Harimau Nan Salapan” yang terdapat dalam buku Perang Paderi di Sumatera Barat 1803-1838 karangan Muhammad Radjab (1964).
Perbandingan Nama-nama Harimau Nan Salapan dalam Note tersebut adalah sebagai berikut:
No | Versi Johney Saputra(18 Oktober 2014) | Versi Muhammad Radjab (1964) | Keterangan |
1 | Tuanku nan Renceh atau Tuanku nan Tuo atau Tuanku Kamang | Tuanku nan Rinceh dari Kamang | Sama |
2 | Tuanku Mansiangan | Tuanku Berapi dari Bukit (Canduang | Berbeda |
3 | Tuanku Pandai Sikek | Tuanku Ladang Laweh dari Banuhampu | Berbeda |
4 | Tuanku Lintau | Tuanku Padang Lua dari Padang Lua | Berbeda |
5 | Tuanku Pasaman | Tuanku Galuang dari Sungai Pua | Berbeda |
6 | Tuanku Rao | Tuanku Biaro dari Biaro | Berbeda |
7 | Tuanku Tambusai | Tuanku Lubuak Aue dari Canduang | Berbeda |
8 | Tuanku Barumun | Tuanku Kapau dari Kapau | Berbeda |
Tabel di atas memperlihatkan bahwa telah terjadi deviasi penulisan sejarah dari tokoh yang disebut sebagai “Harimau Nan Salapan” dari tahun 1964 ke tahun 2014. Hal ini sangat menarik untuk dikaji lebih jauh apakah terdapat deviasi serupa untuk nama-nama yang disebutkan dalam literatur yang digunakan baik oleh pemilik akun media sosial, maupun kalangan intelektual penulis sejarah atau kajian sejarah.
Penggunaan istilah Tuanku Nan Salapan (dengan menyebutkan anggotanya) dalam literatur Belanda tertua (yang dapat diakses) muncul dalam De Stuers (1850) pada bukunya De Vestiging en Uitbreiding. Istilah tersebut sama dengan istilah pada buku Verhaal van den Aanvang Der Padri op Sumatra (Hollander:1857) yang baru diterbitkan tujuah tahun kemudian. Walaupun diterbitkan belakangan, data yang ada dalam buku ini berusia lebih tua karena merupakan salinan dari Surat Keterangan Fakih Saghir Alamiyat Tuanku Samik Syekh Jalaluddin. Salinan tersebut dibuat pada tahun 1824 di Batavia oleh Said Mohammed Tjing Said Allah seorang juru tulis yang pada saat itu bekerja di Sekretariat Jendral Hindia Belanda di Batavia. Dengan demikian, besar kemungkinan Surat Keterangan tersebut ditulis Fakih Saghir pada tahun 1823, setelah Letnan Kolonel Raaff menaklukkan Agam, khususnya Empat Angkat.
Sebagaimana dikemukakan di atas De Vestiging en Uitbreiding (De Stuers:1850) merupakan edisi terjemahan. Namun demikian terdapat perbedaan penulisan nama dari tokoh Tuanku Nan Salapan, walaupun tidak terlalu signifikan. Dari dua buku tersebut, De Vestiging en Uitbreiding (De Stuers:1850) dan Verhaal van den Aanvang Der Padri-Onlusten op Sumatra (Hollander:1857) ditemukan beberapa ketidakcocokan dalam pemindahtulisan. Hal ini barangkali disebabkan faktor keterbatasan dalam kemampuan memindahtuliskan aksara [Arab] Melayu ke dalam huruf latin dengan dasar bahasa Belanda. Sehingga dalam buku tersebut ditemukan ketidakcocokan pada beberapa bagian, terutama yang mengayangkut dengan nama daerah, nama orang dan gelar. Misalnya, dalam De Stuers (1850) tertulis nama “Toeankoe [Tuanku] van Benesa” sementara dalam salinan (Hollander 1857) yang beraksara Jawi (arab melayu) dapat dibaca sebagai Tuanku di Bansa, dan bukan Banesa.
Dua gambar berikut yang merupakan tangkapan layar (screenshot) dari dua buku tersebut memperlihatkan kesalahan pemindahtulisan itu terjadi. Gambar pertama yang diambil dari De Vestiging en Uitbreiding (Stuers:1850) ini menampilkan nama delapan Tuanku yang kemudian disebut sebagai Tuanku nan Salapan.
Sedangkan gambar di bawah ini menampilkan catatan dan keterangan dari edisi cetak buku Verhaal van den Aanvang Der Padri-Onlusten op Sumatra(Hollander:1857) yang merupakan salinan naskah Hikayat Syekh Jalal Addin.
Sesuai dengan tulisan pada gambar di atas delapan nama Tuanku (yang selanjutnya dikenal dengan nama Harimau Nan Salapan) tersebut, bila dipindahtuliskan ke dalam aksara laten dengan menggunakan pengetahuan tentang letak geografis dan nama daerah di wilayah dataran Agam, adalah sebagai berikut:
- Tuanku di Kubu Sanang, Kubu Sanang terletak di Nagari Kubang Putiah yang terletak Kecamatan Banuampu Kabupaten Agam
- Tuanku di Ladang Lawas [Laweh], Ladang Laweh adalah nama jorong yang juga nama nagari yang terletak di Kecamatan Banuampu Kabupaten Agam
- Tuanku di Padang Luar [Lua], Padang Lua adalah sebuah nagari yang terletak di Kecamatan Banuampu di Kabupaten Agam
- Tuanku di Galuang, Galuang adalah sebuah jorong yang terletak di Nagari Sungai Pua Kecamatan Sungai Pua.
- Tuanku di Koto Hambalau [Ambalau], Koto Ambalau adalah nama sebuah kampung terletak di Nagari Canduang Koto Laweh Kecamatan Canduang Kabupaten Agam
- Tuanku di Lubuak Haur [Lubuak Aua], Lubuak Aua adalah nama jorong di Nagari Canduang Koto Laweh Kecamatan Canduang Kabupaten Agam
- Tuanku di Bansa, Bansa adalah nama sebuah jorong di Nagari Kamang Mudiak Kecamatan Kamang Magek Kabupaten Agam
- Tuanku Nan Renceh, dari berbagai sumber disebutkan lahir dan dimakamkan di kampungnya di Jorong Bansa, Nagari Kamang Mudiak Kecamatan Kamang Magek Kabupaten Agam.
Seharusnya ini, dua buku inilah yang menjadi sumber (tertua) berbagai tulisan tentang Paderi, baik oleh penulis asing berkebangsaan Belanda maupun berkebangsaan lainnya maupun penulis berkebangsaan Indonesia. Di dunia maya, sumber penulisan kebanyakan berasal dari bahan bacaan terbitan akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21. Sumber tersebut seringkali lebih mengedepankan kejadian dan peristiwa dengan aneka bumbu sesuai kebutuhan penulis. Sehingga tidak jarang terjadi pergantin nama dan tokoh di dalamnya. Hal inilah yang memungkinkan terjadinya deviasi atau penyimpangan bila dibandingkan dengan tulisan yang diterbitkan beberapa tahun setelah berakhirnya perang paderi.
Dalam beberapa literatur setelah itu, istilah Tuanku nan Salapan ini tidak dikenal lagi dan berubah menjadi Harimau nan Salapan. Tidak saja perubahan penyebutan dari Tuanku Nan Salapan menjadi Harimau Nan Salapan, para tuanku yang disebut sebagai Harimau Nan Salapan itu pun terus mengalami pergantian (sejarah yang diubah penulis?)
Penggunaan istilah Harimau Nan Salapan sebagai padanan gelar dari Tuanku Nan Salapan muncul dalam buku yang ditulis oleh H. A. Steijn Parve (1855). Dalam buku Tijdschrift voor Indische Taan, Land, Volkenkunde pada Bab De Secte der Padaries (Padries) in De Bovenlanden van Sumatra halaman 249 (yang diterbitkan oleh Lange dan Co di Batavia pada tahun 1855) dikemukakan bahwa pergolakan (perang) Paderi di Dataran Tinggi Sumatra dipimpin oleh delapan Tuanku (Acht Priesters) yang kemudian disebut sebagai Harimau Nan Salapan (de Acht Tijgers). Gambar berikut ini adalah hasil screenschoot dari buku tersebut.
Buku yang dicetak 5 tahun setelah de Stuers (1850) menerbitkan Hikayat Syekh Jalal Addin dalam Padri Onlusten op Sumatra di Leiden ini selain memperkenalkan istilah Harimau Nan Salapan, juga menampilkan perubahan tokoh yang disebut sebagai Tuanku (Harimau) Nan Salapan. Tuanku di Kubu Sanang diganti dengan Tuanku di Kapau, sedangkan Tuanku Lubuk Haur diganti dengan Tuanku Berapi. Masuknya nama Tuanku di Kapau ini tidak disertai dengan penjelasan dari laras mana dia berasal seperti halnya para tuanku yang lain semisal Tuanku Nan Rentje dari Kamang atau Tuanku di Galuang dari Sungai Pua. Sepertinya penerbitan Verhaal van den Aanvang Der Padri-Onlusten op Sumatra (Hollander:1857) ini ditujukan untuk meluruskan nama-nama dari Tuanku Nan Salapan yang ditulis oleh Parve ini. Berikut ini tabel perbandingan nama-nama Tuanku/ Harimau Nan Salapan menurut sumber tersebut:
No | De Stuers (1850) | Hollander (1857) | Parve (1855) |
1 | Toeankoe van Koba Sanang (Tuanku di Kubu Sanang) | Tuanku di Kubu Sanang | — |
2 | Toeankoe van Ladang Lawas (Tuanku di Ladang Laweh) | Tuanku di Ladang Laweh | Toeankoe Ladang Lawe van Boenoempoe |
3 | Toeankoe van Padang Loear(Tuanku di Padang Lua) | Tuanku di Padang Lua | Toeankoe Padang Loear van Boenoempoe |
4 | Toeankoe van Kalong (Tuanku di Galuang) | Tuanku di Galuang | Toeankoe di Galong van Soengei Poear |
5 | Toeankoe van Koba Hambaloe (Tuanku di Kubu Hambalau) | Tuanku di Kubu Hambalau | —— |
6 | Toeankoe van Loebak Hawar (Tuanku di Lubuak Aua) | Tuanku di Lubuak Aua | Toeankoe Loeboek Aaoer |
7 | Toeankoe van Banesa (Tuanku di Bansa) | Tuanku di Bansa | Toeankoe van Banesa |
8 | Toeankoe Nan Rintjeh (Tuanku Nan Rinceh) | Tuanku Nan Rinceh | Toenakoe Nan Rentje |
Toeankoe Berapi van Boekit (Tjandoeng) | |||
Toeankoe Kapan (Kapau) van Agam |
Antara Parve (1855) dengan De Stuers (1850) terdapat dua nama yang berbeda, yaitu Tuanku Berapi dari Bukit Candung dan Tuanku Kapau. Nama Tuanku Berapi yang muncul pada Parve (1855), menurut pendapat saya, diperkirakan nama lain dari Tuanku Koto Hambalau, karena sama-sama dituliskan berasal dari Canduang. Sayangnya ini hanya perkiraan karena tidak ada bukti dan referensi untuk itu. Sedangkan nama Tuanku Kapau adalah nama baru, yang di dalam keseluruhan buku Parve (1855) tidak didapatkan keterangan tentang itu.
Sementara itu, referensi penyebutan Harimau Nan Salapan tertua dalam literatur berbahasa bahasa Melayu yang saya dapatkan berasal dari buku Enam Belas Tjeritera Hikajat Tanah Hindia yang dikarang oleh G.J.F Biegman cetakan Gobernemen di Betawi pada tahun 1894. Pada Fasal [bagian] XV (lima belas) di bawah judul Tjeritera Perang Paderi (lihat gambar) disinggung tentang adanya persekongkolan delapan orang tuanku yang disebutnya sebagai Harimau Nan Salapan. Dalam hikayat ini juga muncul nama Haji Miskin sebagai salah satu dari Harimau nan Salapan. Bila ada tulisan yang menyebutkan Haji Miskin adalah anggota Harimau Nan Salapan, maka kemungkinan referensinya adalah cerita yang bersumber dari buku ini.
Sepertinya banyak yang percaya dengan buku ini, dikarenakan terbatasnya sumber bacaan dan pengetahuan kala itu. Padahal, sebagaimana judulnya, cerita rakyat yang terbit satu abad setelah dimulainya pertentangan antara kaum hitam dan kaum paderi ini tentulah hanya sebuah cerita, yang disalin oleh seorang penjajah, yang tentu saja lebih banyak bumbunya untuk kepentingan penguasa (penjajah), yang tidak akan mungkin memuat bagaimana buruknya perilaku kaum hitam tatkala “pertempuran kecil” itu meletus di dataran Agam. Kebiasaan yang terus menular sampai saat ini.
Naskah lama berbahasa Indonesia lainnya, yang dapat saya akses, adalah yang buku Perang Paderi di Sumatera Barat 1803-1838 karangan Muhammad Radjab (1964) sebagaimana disebutkan di atas. Nama-nama yang disebutkan oleh Muhammad Radjab sebagai Harimau nan Salapan juga berbeda dengan yang dikemukakan sumber terdahulu, baik oleh Stuers (1850) maupun Parve (1855).
Tabel berikut ini dapat dilihat perbedaan tersebut:
No | De Stuers (1850) | Parve (1855) | Radjab (1964) |
1. | Toeankoe van Koba Sanang (Tuanku di Kubu Sanang) | —– | —– |
2. | Toeankoe van Koba Hambaloe (Tuanku di Kubu Hambalau) | —— | —— |
3. | Toeankoe van Bansa (Tuanku di Banesa) | 1. Toeankoe van Banesa | —– |
4. | Toeankoe van Ladang Lawas (Tuanku di Ladang Laweh) | 2. Toeankoe Ladang Lawe van Boenoempoe | 1. Tuanku Ladang Laweh dari Banuhampu |
5. | Toeankoe van Padang Loear(Tuanku di Padang Lua) | 3. Toeankoe Padang Loear van Boenoempoe | 2. Tuanku Padang Lua dari Padang Lua |
6. | Toeankoe van Kalong (Tuanku di Galuang) | 4. Toeankoe di Galong van Soengei Poear | 3. Tuanku Galuang dari Sungai Pua |
7. | Toeankoe van Loebak Hawar (Tuanku di Lubuak Aua) | 5. Toeankoe Loeboek Aaoer | 4. Tuanku Lubuak Aue dari Canduang |
8. | Toeankoe Nan Rintjeh (Tuanku Nan Rinceh) | 6. Toenkoe Nan Rentje | 5. Tuanku nan Rinceh dari Kamang |
7. Toeankoe Berapi van Boekit (Tjandoeng) | 6. Tuanku Berapi dari Bukit (Canduang) | ||
8. Toeankoe Kapan (Kapau) van Agam | 7. Tuanku Kapau dari Kapau | ||
—— | 8. Tuanku Biaro dari Biaro |
Perbandingan antara Stuers (1850) dengan Radjab (1964) Dari memperlihatkan adanya 3 (tiga) nama Tuanku nan Salapan atau Harimau nan Salapan yang berganti. Muhammad Radjab (1964) tidak mencantumkan nama Tuanku di Kubu Sanang, Tuanku di Kubu Ambalau, dan Tuanku di Bansa sebagaimana yang ditulis oleh Stuers (1850). Tetapi berganti dengan Tuanku Berapi di Bukti Candung, Tuanku di Kapau dan Tuanku Biaro. Muncul Walaupun, setelah diteliti lebih jauh dalam bibliografi bukunya, Muhammad Radjab menggunakan buku Stuers (1850) dan Parve (1855) sebagai sumber bacaan atau rujukan. Sementara itu bila dibandingkan dengan Parve (1855) terdapat satu perbedaan yaitu munculnya nama Tuanku Biaro menggantikan Tuanku di Bansa.
Kenapa nama Tuanku di Bansa bisa hilang dalam Radjab (1964)? Walaupun tidak tercantum dalam bukunya, sepertinya Muhammad Rajab menganggap yang dimaksud dengan Tuanku di Bansa itu adalah Tuanku Nan Renceh karena Tuanku Nan Renceh juga berasal dari Bansa di Kamang. Sehingga dia menghilangkan Tuanku di Bansa dan menggantikannya dengan Tuanku Biaro. Akan tetapi, bila kita meneliti lebih jauh Hikayat Syekh Jalaluddin atau Surat Keterangan Fakih Saghir dalam Hollander (1857) dapat diketahui sedikit informasi tentang siapa yang dimaksud dengan Tuanku di Bansa.
Pada halaman 11-12 buku tersebut, diceritakan tentang Fakih Saghir dan Tuanku Nan Renceh yang sama-sama belajar di Mesjid Kubu Hambalau pada Tuanku Kubu Hambalau di Nagari Canduang Koto Laweh. Ketika belajar pada Tuanku Kubu Hambalau tersebut Tuanku Nan Renceh masih disebut atau dipanggil sebagai Khatib Jobahar, sebagaimana dapat dilihat pada kutipan (yang telah dialihaksarakan) berikut:
“Maka setelah itu jua mufakatlah saya dangan Tuanku nan Renceh hendak mendirikan pekerjaan itu. Itu pun Tuanku nan Renceh terlebih sangat berahi dan berapa2 kali mufakat, beria2 jua sambil duduk bersanang2 mehafazkan ilmu. Pada masa itu ia lai [juga] dimasyhurkan orang dangan Khatib Jobahar adanya”
Pada halaman yang sama, Fakih Saghir juga menceritakan tentang kepulangan Tuanku Nan Renceh ke nagarinya (Bansa), dan mendapatkan dukungan dari tuanku yang ada di nagarinya (Bansa) sebagaimana (setelah dialihaksarakan) berikut:
“Maka telah lama sedikit antaranya, maka Tuanku nan Renceh kembali pulang ke nagarinya. Telah ia menegahkan orang mengambil tuak dan meminum dia. Telah ada pula seorang lagi Tuanku menanti, Malin gelarnya. Iapun suka lagi kuat lagi berani, sempurna pehaluan mendirikan pekerjaan itu. Ia bersama2 menegahkan orang meminum tuak, dan menyuruhkan orang sembahyang. Maka sebab itu terbitlah kelahi dan bantah, tetapi tidak dangan parang, hanya semata2 gaduh2 saja baharu. Maka dimasyhurkan oranglah seorang Tuanku nan Gapu´ dan seorang pula Tuanku nan Renceh, sebab kecil tubuhnya”
Sepulangnya ke nagarinya Tuanku Nan Renceh bertemu dan sependapat dengan Tuanku yang sudah terlebih dahulu menetap di Bansa. Tuanku tersebut bernama Malin sebagaimana disebutkan di atas. Untuk membedakan antara kedua Tuanku tersebut maka Khatib Jubahar dipanggil sebagai Tuanku Nan Renceh karena bertubuh kecil dan Malin dipanggil sebagai Tuanku Nan Gapu’ [Gapuak]. Dari keterangan ini dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan Tuanku di Bansa itu adalah Malin yang disebut juga sebagai Tuanku Nan Gapuak.
Kemunculan nama Tuanku Biaro sebagai anggota Harimau Nan Salapan menjadi tanda tanya, selain tidak pernah disebutkan dalam Hikayat Syekh Jalal Addin, juga sulit dipercaya karena Nagari Biaro berada di (Kecamatan) Ampek Angkek (IV Angkat) yang jaraknya hanya 1,5 km dari Surau Tuanku Nan Tuo. Dalam Hikayat Syekh Jalal Addin, disebutkan nagari-nagari di Ampek Angkek berada di pihak Tuanku Nan Tuo, dan Biaro pun menjadi salah satu sasaran dari kerusuhan yang antara kaum hitam (sesuai istilah Fakih Saghir) dan kaum Paderi.
Deviasi penulisan sejaran melalui perubahan nama tokoh yang menjadi Tuanku Nan Salapan atau Harimau Nan Salapan tersebut terus berlanjut pada penulisan dan literatur berikutnya bahkan sampai dengan awal abad ke 21 ini.
Di dunia maya abad 21, dimana informasi yang begitu mudah diakses, cerita tentang Perang Paderi dan Tuanku Nan Salapan atau Harimau Nan Salapan ini berseliweran dan gampang didapatkan. Akan tetapi, perlu selektif untuk memilih media yang dianggap baik dan terpercaya. Banyak media online yang dipercaya sebagian orang sebagai rujukan. Tirto.id, misalnya, begitu banyak dibaca dan dirujuk akhir akhir ini. Tapi sayang, setelah ditelusuri lebih mendalam, juga memiliki deviasi yang cukup lebar ketika menuliskan tentang persekutuan delapan Ulama (Tuanku) yang dijuluki Harimau Nan Salapan dalam mengobarkan perang paderi di Minangkabau. Dengan mengutip Jeff Hadler dalam Sengketa Putus (2010) (https://tirto.id/mekah-yang-memantik-perang-padri-cj4mdiakses Rabu 11 Oktober 2017 pukul 15:52), dalam tirto.id disebutkan Harimau nan Salapan tersebut sebagai berikut:
- Tuanku nan Renceh,
- Tuanku Lubuk Aur,
- Tuanku Berapi,
- Tuanku Padang Lawas,
- Tuanku Padang Luar,
- Tuanku Galung,
- Tuanku Biaro,
- dan Tuanku Kapau.
Bagi sebagian pembaca, dengan mengutip nama yang cukup terkenal seperti Jeff Hadler tersebut, semuanya begitu meyakinkan. Sayang ketika kita membandingkannya dengan referensi di atas, bahkan dengan Muhammad Radjab (1964) sekaipun terdapat deviasi, dari nama-nama tokoh yang menjadi anggota Harimau Nan Salapan tersebut. Apalagi kalau dibandingkan dengan tokoh-tokoh Tuanku Nan Salapan dalam Hikayat Syekh Jalal Addin dalam (Hollander:1857) dan De Vestiging en Uitbreiding (Stuers: 1850) maupun pada De Secte Der Padaries (Padries) in de Bovenlanden van Sumatra oleh Parve (1855) maka terdapat deviasi yang cukup mencolok dari apa yang dimuat di tirto.id ini.
Perbedaan antara Hadler (2010, dalam tirto.id) dengan Muhammad Radjab 1864 dan De Stuers (1850) dapat dilihat dalam tabel berikut:
No | De Stuers (1850) | Radjab (1964) | Hadler 2010 (Tirto.id) |
1. | Toeankoe van Koba Sanang (Tuanku di Kubu Sanang) | —– | |
2. | Toeankoe van Koba Hambaloe (Tuanku di Kubu Hambalau) | —— | |
3. | Toeankoe van Banesa (Tuanku di Bansa) | — | |
4. | Toeankoe van Ladang Lawas (Tuanku di Ladang Laweh) | 1. Tuanku Ladang Laweh dari Banuhampu | |
5. | Toeankoe van Padang Loear(Tuanku di Padang Lua) | 2. Tuanku Padang Lua dari Padang Lua | 1. Tuanku Padang Luar |
6. | Toeankoe van Kalong (Tuanku di Galuang) | 3. Tuanku Galuang dari Sungai Pua | 2. Tuanku Galung |
7. | Toeankoe van Loebak Hawar (Tuanku di Lubuak Aua) | 4. Tuanku Lubuak Aue dari Canduang | 3. Tuanku Lubuk Aur |
8. | Toeankoe Nan Rintjeh (Tuanku Nan Rinceh) | 5. Tuanku nan Rinceh dari Kamang | 4. Tuanku nan Renceh |
6. Tuanku Berapi dari Bukit (Canduang) | 5. Tuanku Berapi | ||
7. Tuanku Kapau dari Kapau | 6. Tuanku Kapau | ||
8. Tuanku Biaro dari Biaro | 7. Tuanku Biaro | ||
8. Tuanku Padang Lawas |
Berdasarkan tabel di atas, terdapat perbedaan 4 (empat) nama Tuanku anggota Harimau Nan Salapan yang dikemukan dalam Tirto.id bila dibandingkan dengan Stuers (1850). Sedangkan bila dibandingkan dengan Radjab (1964) terdapat satu perbedaan yaitu masuknya nama Tuanku Padang Laweh. Tuanku Padang Laweh masuk menggantikan Tuanku Ladang Laweh. Sekilasnya sepertinya sama saja, akan tetapi Ladang Laweh dan Padang Laweh adalah nagari yang berbeda. Ladang Laweh ada di Kecamatan Banuampu sedangkan Padang Laweh berada di Kecamatan Sungai Pua. Keduanya ada di wilayah Agam.
Terakhir saya ingin membandingkan apa yang ditulis oleh akun Johney Saputra dengan tulisan Stuers (1850)
No | Versi Johney Saputra(18 Oktober 2014) | Stuers (1850) | Ket. |
1 | Tuanku Barumun | ||
2 | Tuanku Mansiangan | ||
3 | Tuanku Pandai Sikek | ||
4 | Tuanku Lintau | ||
5 | Tuanku Pasaman | ||
6 | Tuanku Rao | ||
7 | Tuanku Tambusai | ||
8 | Tuanku nan Renceh atau Tuanku nan Tuo atau Tuanku Kamang | 1. Toeankoe Nan Rintjeh (Tuanku Nan Rinceh) | |
2. Toeankoe van Koba Sanang (Tuanku di Kubu Sanang) | |||
3. Toeankoe van Koba Hambaloe (Tuanku di Kubu Hambalau) | |||
4. Toeankoe van Banesa (Tuanku di Bansa) | |||
5. Toeankoe van Ladang Lawas (Tuanku di Ladang Laweh) | |||
6. Toeankoe van Padang Loear (Tuanku di Padang Lua) | |||
7. Toeankoe van Kalong (Tuanku di Galuang) | |||
8. Toeankoe van Loebak Hawar (Tuanku di Lubuak Aua) |
Berdasarkan tabel sederhana di atas, terlihat deviasi (perbedaan) yang semakin lama semakin membesar dari waktu ke waktu. Bermula dari perbedaan penulisan Bansa yang ditulis sebagai Benesa, sejarah Harimau nan Salapan terus mengalami deviasi yang sangat tajam dalam waktu 2 abad. Tidak tertutup kemungkinan, delapan nama tersebut bisa berganti dengan nama-nama yang lain, semisal Tuanku Nan Renceh dihapuskan karana dianggap sama dengan Tuanku Nan Tuo sebagaimana ditulis Johney Saputra di atas. Maka tidak dapat dibayangkan apa yang akan terjadi “Sejarah diasak penulis media sosial”.
Maka, di zaman yang serba canggih sekarang ini, membaca sebuah artikel atau buku terkait dengan sejarah, perlu dilengkapi dengan mesin pencari yang dapat memberikan informasi yang lebih valid. Kalau tidak, sejarah akan semakin berkabut, dan ditulis sesuai dengan keinginan penulis, rezim atau apa saja.
Memang sungguh menyesakan.
Bukik Limau, 9 Februari 2018
nspamenan@yahoo.com
_____________________________________
Disalin dari blog Engku Nalfira gelar Sutan Pamenan yang bernama https://parintangrintang.wordpress.com diterbitkan pada tanggal 09 February 2018.
Komentar
Posting Komentar