Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari April, 2017

Perjodohan (Fasal.3)

Mangarumahan Urang [1] (Fihak Perempuan) Setelah kepastian telah didapat mengenai nasib Si Buyuang dan Si Upiak maka fihak perempuan kemudian mengadakan acara Mangarumahan Urang. Gunanya ialah untuk memberitahu kepada sekalian karib kerabat kalau Si Upiak telah dapat jodohnya, telah bersua ruas dengan buku. Itulah makna sesungguhnya dari acara ini. Yang diundang ketika acara ini ialah amai-bapak [2] , beragam cara orang mengadakan acara ini, namun tiangnya ialah sesuai kemampuan. Bagi yang sanggup maka mereka akan mengundang rang sumando dari seluruh anggota suku namun bagi yang tidak maka yang patut-patut saja. Maksudnya yang patut ialah yang dekat hubungannya, seperti kemudian ialah bako, setelah itu seluruh kaum kerabat.

Perjodohan (Fasal.5)

[caption id="" align="aligncenter" width="750"] Gambar: http://www.hipwee.com [/caption] Batando (jalannya) Digelari juga oleh orang dengan sebutan Batuka Cincin. Dalam adat di kampung kita, acara batando ini berlangsung di rumah keluarga fihak lelaki. Dimana mamak-mamak dari fihak perempuan mendatangi rumah keluarga fihak lelaki. Kedatangan ini tentulah telah direncanakan dan diberitahukan. Sedangkan fihak lelaki telah bersiap dalam menanti. Karena acara dipusatkan di rumah lelaki, maka fihak lelaki jauh-jauh hari telah mempersiapkan segala sesuatunya. Para ibu-ibu semenjak beberapa hari nan lalu telah sibuk ke dapur, sibuk membuat masakan untuk dihidangkan pada hari batando. Diimbau lah segala dunsanak untuk ka dapua , karena Si Buyuang hendak batando. Sedangkan di fihak lelaki, selain dari mamak dan sudara-saudara sesuku juga diundang amai-bapak [1] dan bako. Yang hadir dari fihak bako tidak hanya saudara perempuan ayah melainkan juga saudara lela

Perjodohan (Pengantar)

[caption id="" align="alignright" width="220"] Gambar: https://m.id.aliexpress.com [/caption] Urusan perkawinan atau pernikahan di Minangkabau ini telah lama menjadi urusan bersama atau kaum-kerabat. Mulai dari awal yakni pencarian jodoh hingga helat pernikahan, kesemuanya ditanggung oleh keluarga. Hal ini menunjukkan bahwa dalam sudut pandang (perspektif) Kebudayaan Minangkabau mengajarkan bahwa tidak ada manusia yang hidup sendiri (sebatang kara). Bahkan tak jarang dalam urusan pernikahan ini, Si Upiak dan Si Buyuang tahu beres saja. Mereka bahkan tidak dibawa serta untuk merundingkan masalah pernikahan mereka ini. Mereka hanya ditanya ketika masa awal perjodohan “Sukakah engkau dengan Si Fulan/Fulanah anak Si Anu, Kamanakan Si Antun, itu sukunya, dan disana rumahnya..?” Jika jawapan yang didapat ialah persetujuan, maka pernikahan akan segera diurus. Namun apabila jawapan yang diperoleh ialah sebaliknya, maka pembicaraan selesai disitu saja. Tidak ada

Khayalan belaka

[caption id="" align="aligncenter" width="244"] Picture: http://tambodunia.blogspot.co.id [/caption] Sungguh terkejut kami membaca pandangan seorang Belanda pada masa tahun 1849 tentang masyarakat Minangkabau. Sungguh tiada yakin kami dengan apa nan disampaikan oleh Si Belanda ini, bukanlah watak dan tabi'at masyarakat Minangkabau berfikiran demikian. Berikut kami lampirkan pendapatnya tersebut yang juga merupakan laporan kepada induk semangnya di Batavia: Kami melihat dimana-mana peningkatan populasi. Alasan utama adalah perbaikan pertanian beras, sehingga selalu ada cukup makanan. Sejak perbaikan ini kami menyaksikan lebih banyak perkawinan dan kami telah melihat penghentian "verderfelijke gewoonte" (praktik merusak) kaum perempuan untuk melakukan aborsi. Walau hasrat untuk terlihat muda seringkali dijadikan alasan utama perempuan "Melayu" tidak mau punya lebih dari tiga anak, tidak diragukan lagi adalah kekurangan pangan, atau h