Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Mei, 2019

30. Tata Upacara Adat Minangkabau: Upacara Kematian

UPACARA KEMATIAN Sebagaimana upara-upacara adat lainnya, upacara kematian dalam adat Minangkabau dilakukan menurut Syariat Islam. Bila mendengar berita salah seorang dari warga sakit berat, maka semua warga berkewajiban datang menjenguk atau melayat— Kaba elok baimbauan, kaba buruak bahambuan ; Sakik basilau-mati bajanguak Apa bila seorang warga diberitakan telah meninggal dunia, salah satu upaca adat harus dilakukan adalah Maanta Kapan . Upacara ini dilakukan secara sederhana, dimana bako [1] datang dengan rombongannya mengantarkan dan menyerahkan kain kafan yang akan dipakaikan kepada simayat. Setelah pelayat dan keluarga dekat datang, maka ucara berikutnya adalah Mancabiak Kapan dan Mandi Minyak . Upacara ini adalah penyiapan kain kafan yang dipimpin oleh imam, kadhi atau orang seorang ulama. Pada saat yang bersamaan dilangsungkan pemandian mayat yang biasanya dilakukan oleh keluarga terdekat, seperi anak dan kamanakan. Setelah selesai upacara pemandian mayat, dilakukan pengapana

29. Tata Upacara Adat Minangkabau: Upacara Batagak Pangulu

UPACARA BATAGAK PANGULU Salah satu upacara atau alek ( ceremony ) adat Minangkabau yang paling sakral yang mendapatkan perhatian dan perlakukan khsus adalah Batagak Pangulu atau ada juga yang menyebutnya Batagak Gala .  Upacara ini merupakan peristiwa pentasbihan dan pengambilan atau pengucapan sumpah serta janji seorang Pangulu pada saat ia diangkat dan dinobatkan sebagai pemimpin kaum yang bergelar Datuak. Upacara adat ini sesuai dengan ajaran Islam sebagaimana firman Allah mengingatkan: Sesungguhnyan orang-orang yang menukar janji ( nya dengan Allah ) dan sumpah-sumpah mereka dengan harga yang sedikit maka mereka itu tidak mendapat bahagian dari ( pahala ) di akhirat, dan Allah tidak akan berkata-kata dengan mereka dan tidak akan melihat kepada mereka pada hari kahirat dan tidak ( pula ) akan menyucikan mereka. Bagi mereka adalah azab yang pedih (QS:3:77). Pada bagian lain Allah juga mengingatkan: “ Dan janganlah kamu mengikuti orang yang selalu bersumpah, lagi yang hina ” (QS 6

28. Tata Upacara Adat Minangkabau: Upacara Pernikahan

UPACARA PERNIKAHAN Salah satu momen skaral dalam adat Minangkabau dan ajaran Islam adalah pernikahan. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman: “ Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia ciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendir, supaya kami cenderung dan merasa tenteran kepadanya, dan dijadikan diantara kamu rasa kasih sayang. Susungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir (QS:30:21). Rasulullah S.A.W bersabda: “Wahai pemuda, barang siapa diantara kalian telah mampu berkeluarga, hendaklah ia kawin karena ia dapat menundukan pandangan dan memelihara kemaluan. Barang siapa yang belum mampu, berpuasalah, sebab ia dapat mengendalikanmu (HR Bukhari dan Muslim, dari Ibnu Mas’ud)

27. Tata Upacara Adat Minangkabau: Upacara Kelahiran

HAKIKAT DAN FALSAFAH TATA UPUACARA ADAT Pada dasar upacara ada yang dalam bahasa Minangkabau disebut alek  adalah ungkapan rasa syukur atas anugrah Allah S.A.W. Upacara-upacara tersebut terkait dengan berbagai keadaan yang dialami oleh anggota masyarakat sebagai sebuah siklus atau daur hidup yang sudah menjadi kententuan Allah S.W.T.   UPACARA KELAHIRAN Upaca Kelahiran, dalam adat Minangkabau, tidak terlalu istimewa dibandingkan dengan Upaca Batagak Gala dan Upaca Perkawinan. Upacara kelahiran biasanya hanya melibatkan kelompok kecil, seperti kaum, dan suku, atau tetangga, tidak melibatkan masyarakat satu nagari. Dari sekian banyak rangkaian upacara adat kelahiran, ada beberapa yang paling menonjol dan sering dilakukan oleh masyarakat Minangkabau, antara lain: 1) Turun Mandi, 2) Aqiqah 3) Manjapuik Anak dan Maata Anak.

26. Tata Upacara Adat Minangkabau: Pendahuluan

PENDAHULUAN Salah satu tata kehidupan yang diatur oleh adat Minangkabau adalah berbagai bentuk upacara yang dikaitkan dengan daur hidup seperti kelahiran, pernikahan, kematian dan pewarisan kepemimpinan adat ( sako ). Upacara-upacara yang sangat kental mewarnai adat Minangkabau ini telah berlangsung berabad-abad yang lalu, dan turun-temurun dari generasi ke generasi. Upacara-upacara ini merupakan kekayaan budaya yang menjadi warisan budaya tak-benda ( intangible heritage ) yang harus dilestarikan dan nilai-nilainya harus dikembangkan. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2007 tentang Pemajuan Kebudayaan menetapkan “adat istiadat” sebagai salah satu objek pemajuan kebudayaan. Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 6 Tahun 2014 tentang Penguatan Lembaga Adat dan Pelestarian Nilai Budaya Minangkabau, Pasal 12 ayat (1) dan (2) mengatur bahwa upacara daur hidup, upacara tradisional, dan pewarisan sako dan pusako sebagai nilai budaya Minangkabau yang harus dilestarikan.

25. Limbago Adat Minangkabau: Simpulan

SIMPULAN Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa limbago adat Minangkabau adalah wadah tempat berlangsungnya segala aktivitas dan proses adat Minangkabau yang tumbuh dari bahwah— mabusuik dari bumi —yang diwariskan secara turun temurun oleh nenek moyang orang Minangkabau dengan mengikuti garis suku ibu— Adaik pulai batingkek naik, maningga rueh jo bukunyo-Adaik manusia batingkek turun, maninggakan adat jo limbagoyo . Limbo adat Minangkabau tidak pernah dibuat oleh pemerintah manapun yang pernah memerintah di Minangkabau sejak masa pemerintahan “Kerajaan Adityawarman”, Kesulthanan Minangkabau, Pemerintahan Kolonial Belanda, dan Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa Limbago Adat Minangkabau adalah wadah berlangsungnya urusan adat yang didasarkan pada garis suku ibu yang memiliki otoritas memegang sako jo pusako salingka kaum dan adat salingka nagari yang hak-hak tradisonalnya diakui dan dihormati oleh konstitusi negara (UUD 1945) khusus

24. Limbago Adat Minangkabau: Hirarki Limbago Adat Minangkabau

HIRARKHI LIMBAGO ADAT MINANGKABAU Dalam konteks Adat Minangkabau sebagai Adat Sabatang Panjang yang berlaku diserluruh wilayah adat Minangkabau, baik di Luhak maupun di Rantau, hirarkhi limbago adat mengacu ke lareh (Lareh Koto Piliang, Lareh Budi Coniago, dan Lareh Pisang Sikalek-Kalek Hutan). Sitem kepemimpinan dan permusyawaratan Limbago yang berada dalam hirarkhi lareh Koto Piliang yang dikembangkan oleh Dt. Katumanguangan lebih bersifat ototarian— manitiak dari langik. Limbago  yang berada dalam hirarkhi lareh Budi Caniago yang dikembangkan oleh Dt. Parpatiah Nan Sabatang lebih bersifat demokratis— mambusuik dari bumi . Sedangkana Limbago yang berada dalam hirarkhi Lareh Pisang Sikalek-Kalek Hutan yang dikembangkan oleh Dt. Surimaharajo Nan Banego-Nego memilih bersifat moderat, berada diatara kedua lareh sebelumnya— Koto Pilaing nyo Indak-Bodi Caniago nyo Antah .

Berbagai versi Harimau Nan Salapan dalam Penulisan Sejarah

HARIMAU NAN SALAPAN DALAM DEVIASI PENULISAN SEJARAH YANG MENYESAKKAN Oleh: Nalfira gelar Sutan Pamenan Posted on   February 9, 2018 by   parintangrintang Parintangrintang : Beberapa hari yang lalu, saya kembali dibawa ke diskusi tentang Harimau Nan Salapan dalam Ciloteh Tanpa Suara pada Note laman Facebook yang ditulis Pak Saiful Guci. Tulisan yang ditulis pada tanggal 24 Oktober 2014 tersebut begitu menarik, karena memperlihatkan adanya perbedaan nama-nama tokoh Harimau Nan Salapan yang terlibat dalam Perang Paderi. Pak Saiful mencoba membandingkan tokoh-tokoh yang disebut sebagai “Harimau Nan Salapan” oleh akun Johney Saputra (tanggal 18 Oktober 2014 ) pada sebuah grup yang beliau ikuti dengan  tokoh-tokoh yang disebut sebagai “Harimau Nan Salapan” yang terdapat dalam buku Perang Paderi di Sumatera Barat 1803-1838 karangan Muhammad Radjab (1964). Perbandingan Nama-nama Harimau Nan Salapan dalam Note tersebut adalah sebagai berikut: No Versi  Johney Saputra (18 Oktober 2014) Versi Muh

23. Limbago Adat Minangkabau: Tigo Tungku Sajarangan

TIGO TUNGKU SAJARANGAN Dalam sistem adat Minangkabau, Tungku Tigo Sajarangan pada hakikatnya adalah wadah ( limbago ) permusyawaratan, bukan lembaga perwakilan. Unsur yang ada didalam limbago merupakan representasi semua masyarakat Minangkabau bukan mewakili kelompok-kelompok dan kepentingan tertentu. Limbago Tigo Tungku Sajarangan mengemban amanah dan membawa aspirasi, kepentingan dan misi masyarakat Minangkabau secara keseluruhan. Tigo Tungku Sajarangan adalah wadah ( limbago ) permuysrawatan masyarakat Miangkabau. Secara harfiah, “ tungku ” merujuk pada sebuah perkakas memasak tradisional, terbuat dari batu yang keras sebanyak tiga buah, yang diatur dengan posisi yang berbentuk segi tiga. Batu-batu ini harus berukuran sama sehingga bejana memasak (periuk atau kuali, atau yang lain) yang diletakkan di atasnya tidak miring. Di sela-sela tungku tersebut, kayu bakar disilang-silangkan sehingga udara untuk kebutuhan menyalakan api dapat bersirkulasi secara sempurna— dima kayu basilang,

22. Limbago Adat Minangkabau: Rajo Tigo Selo

RAJO TIGO SELO Walaupun istiah Rajo Tigo Selo lebih pupuler dikaitkan dengan struktur Kesulthanan Minangkabau (Kerajaan Pagaruyuang), namun prinsip dan konsep ini tetap berlaku dan diterapkan dalam sistem Limbago Adat Minangkau di nagari, baik yang ada di Luhak Nan Tigo maupun di Rantau. Dalam konteks Kesulthanan Miniangkabau, Rajo Tigo Selo adalah kepemimpinan kolektif antara Rajo Alam, sebagai pucuk pimpinan Kesulthanan, Rajo Adat sebagai pucuak pimpinan dalam urusan adat, dan Rajo Ibadat pucuak impinan dalam urusan agama (Islam). Untuk membuat keputusan tekait adat, Rajo Alam tidak bisa membuat keputusan sendiri tanpa konsultasi dan masukan dari Rajo Adat. Begitu pula dalam urusan agama, Rajo Alam harus mendapatkan pertimbangan dan persetujuan dari Rajo Ibadat sebelum mebuat keputusan. Dengan demikian, semua keputusan dibuat secara kolektif oleh tiga unsur dalam Limbago Rajo Tigo Selo.